Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.
Semua barang sudah dipindahkan dari kontrakan lama mereka ke rumahku. Sejak menikah, keluarga ini hidup berpindah-pindah. Kali ini mereka pindah karena kontrakan lama akan dijual oleh pemiliknya.
Rumah itu cuma kuhargai Rp2,5 juta setahun. Selain karena berada di pelosok, sebagian besar yang berada di situ tergolong lemah secara finansial. Pak Basit, orang yang mengontrak rumahku, bekerja sebagai kurir dan teknisi di Jakarta. Pulang dari kantor, dia bekerja lagi sebagai pengemudi ojek online.
Pertemuanku dengan keluarga ini selalu hangat. Istri Pak Basit menjamuku dengan teh dan aneka camilan. Kedua anak mereka juga selalu terlihat senang ketika melihatku.
Anak yang tertua kelas 5 SD. Dia suka sekali dengan binatang sehingga Pak Basit meminta izin menjadikan terasku sebagai kolam lele. Kedua kalinya aku berkunjung ke situ, kolam itu sudah jadi.
Rumah yang tadinya lengang, hanya berisi kursi dan meja kerja, kini penuh oleh aneka perabotan. Awalnya aku khawatir mereka juga mengalami gangguan yang dulu pernah kualami. Tapi, sepertinya mereka baik-baik saja.
.
"Gimana, Bu, kerasan?" tanyaku. "Iya, Mas. Saya seneng dapet kontrakan daerah sini soalnya anak-anak kan sekolah juga di sini. Paling-paling itu nenek rumah sebelah suka mampir, tapi gak apa-apa," jawabnya.
Hah? Nenek siapa? Bukankah sebelah kanan kiri rumahku kosong semua? Melihat muka heranku, dia melanjutkan, "Saya kadang bisa lihat yang gitu-gitu, Mas. Hehe." Oh. Malah bagus, pikirku. Berarti dia sudah terbiasa.
Tak terasa hari sudah petang. Aku pamit pulang ke tempat indekos. Di gerbang perumahan, aku berpapasan dengan Pak RT. Aku menyapanya, sekalian menjelaskan bahwa rumah itu sudah kukontrakkan. Mendengar itu, dia tampak tak bersemangat. "Oh, Pak Basit ya. Ya sering-sering ditengok aja rumahnya, Mas," ujarnya sambil berlalu.
Nasihat Pak RT untuk sering-sering menengok rumah tak kuhiraukan. Aku sudah kembali asyik dengan kehidupan ngekos di Jakarta. Namun, tiga bulan kemudian, Pak Basit mengirim SMS.
Katanya, pompa air di rumah rusak. Dia memintaku datang untuk mendiskusikan soal itu dan soal-soal lainnya. Karenanya, Sabtu siang aku naik kereta ke sana.
Nyaris tak ada perubahan dengan perumahan itu ketika aku sampai. Bangku-bangku hijau masih teronggok di tengah hutan. Semak-semak masih rimbun. Bunyi keresek sesekali terdengar. Mungkin musang atau ular.
Yang berubah justru raut muka Pak Basit. Dia tampak sedikit pucat. "Kemarin abis dari rumah sakit, Mas. Ginjalnya ada masalah. Nggak tahu, kebanyakan begadang mungkin," terang istrinya.
Meski begitu, dia berusaha terlihat tangguh. Pompa yang rusak berusaha dia perbaiki sendiri, tapi gagal. Karena itulah, Bu Basit memintaku ikut patungan untuk membeli pompa baru. Tak cuma itu, ia juga memintaku membantu membayar tagihan listrik.
.
"Yah, sebenarnya memang tanggung jawab kami. Tapi kan ini rumah Mas, jadi kami penginnya Mas ikut bantu. Apalagi ini bener-bener habis banyak buat berobat," kata Bu Basit memohon.
Aku segera menyanggupinya. Kubilang akan membantu biaya listrik bulanan dan pompa air. Pak Basit diam saja sedari tadi. Dia tampak tidak setuju dengan keputusan istrinya meminta bantuanku. Namun apa boleh buat, dia sendiri sedang sakit sehingga harus berhenti mengojek untuk sementara.