Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.
Cerita Hantu Bersambung: Petaka di Cemara Timur
Ilustrasi (ucg.org)
Aku pulang kantor lebih larut dari biasanya. Kulihat jam di layar ponsel. Ah, baru pukul 9 malam. Satu jam lagi sampai rumah.
Sesampainya di stasiun, para pengemudi ojek masih ramai berjejer di pintu gerbang. Mereka berseru-seru menawarkan jasanya kepada penumpang yang baru turun dari kereta.
Aku sendiri biasanya naik angkot sampai depan gang Desa Cemara Timur, lalu berjalan kaki sekitar 10 menit. Tapi, malam-malam begini aku ingin segera pulang dan tidur. Karenanya, aku memilih naik ojek saja.
"Pak, ojek ya," kataku kepada salah satu pengemudi. Wajahnya langsung sumringah. Aku membonceng di belakangnya.
"Ke mana, Mas?" ujarnya setelah menyalakan motor. "Perum Cemara Timur, Pak," jawabku.
Tak kusangka, dia langsung mematikan motornya. "Duh, Mas, naik angkot aja ya. Ojek nggak bakal ada yang berani ke sana di atas jam 9," katanya.
Aku kecewa mendengarnya. Waktu kutanyakan kenapa, dia bilang tukang ojek sering "diisengi" waktu lewat daerah hutan.
Akhirnya aku naik angkot dan berjalan kaki seperti biasa. Gara-gara cerita si bapak, aku jadi berpikir macam-macam saat lewat di dekat hutan. Untungnya tak terjadi apa-apa.
Di rumah, aku langsung mencuci kaki, memakai jaket, dan beranjak tidur. Namun lagi-lagi, aku merasa sesuatu yang berat menindih badanku. Kali ini disertai suara napas yang lirih. Setelah membaca doa, aku berhasil terbangun.
Alangkah bingungnya aku ketika bangun. Entah bagaimana, jaket dan bajuku sudah terlepas. Apakah dalam tidur aku melepas baju? Bukankah suhunya cukup dingin. Untuk apa aku melepas baju? Entahlah. Sembari kembali memakai baju, aku berusaha mencari penjelasan yang logis, tapi tak jua menemukannya.
Meski sering mengalami "gangguan", aku menikmati tinggal di sini. Oksigen berlimpah, hamparan hijau pepohonan mengelilingi rumah, dan hanya deburan arus sungai yang mengiringi malam.
Sayangnya, tak banyak tetangga yang bisa menjadi teman mengobrol. Pulang kerja, kami mengunci pintu masing-masing. Sebenarnya ada bagusnya karena aku bisa fokus menulis berjam-jam.
Namun, jarak yang jauh dari kantor membuatku lebih cepat capai. Terkadang aku berpikir, mungkin karena lelah pula aku sering mengalami ketindihan. Rata-rata 2-3 kali seminggu aku mengalaminya. Saking seringnya, aku menjadi sangat cuek dengan gangguan-gangguan itu.
Tak terasa, sudah setahun aku tinggal di pelosok desa. Bukuku sudah terbit. Tugas-tugas kantor menuntut mobilitas yang semakin tinggi. Dan aku merindukan interaksi dengan manusia lain.
Maka awal 2014 aku bersiap untuk memutuskan untuk kembali ke tempat indekos yang lama. Aku sudah membayangkan ibu kos dan teman kos yang pasti bakal berseru, "Woy, ngapain balik lagi!"
Aku berencana memasang iklan "dikontrakkan", baik di pagar maupun di dunia maya. Tapi saat sedang mengemas barang untuk pindahan, seorang ibu tampak celingukan dari luar pagar. Waktu kuhampiri, dia bertanya apakah aku tinggal di sini. Jangan-jangan dia curiga aku cuma tukang kebun.