Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.
Cukup sudah segala misteri, mimpi, dan simpang siur informasi. Aku harus menuntaskan semuanya hari ini. Aku pun bertamu ke rumah Pak Wongso untuk mencari informasi yang lebih utuh.
Tak ada niat untuk menuduhnya yang bukan-bukan. Justru dengan pertemuan ini, kuharap gosip warga bisa terklarifikasi.
Rumah hijau itu terlihat mencolok di balik pepohonan yang menyelimutinya. Waktu sampai di gerbang, seorang satpam menyambutku.
Kubilang saja aku warga baru yang ingin bersilaturahmi dengan orang yang paling disegani di desa ini. Toh memang itu tujuanku. Masih dengan pandangan menyelidik, dia mengantarkanku ke rumah utama.
Ternyata jalannya cukup panjang. Kami melewati kandang sapi, kuda, dan kambing. Di seberangnya, deretan mobil mewah terparkir rapi.
Ruang tamu itu cukup heboh. Perabotannya besar-besar dan dihiasi ukiran. Foto-foto Pak Wongso dalam berbagai acara terpajang di dinding dan lemari.
Tak berapa lama, yang ditunggu pun datang. Sosoknya memang amat berwibawa. Usianya sekitar 50-an tahun, tapi posturnya tegak dan berisi. Langkahnya tegap, seolah tak pernah ada keraguan dalam dirinya.
Jujur, aku merasa takjub. Namun, sikapku tetap biasa dan berkenalan dengan sopan. Kami berbasa-basi soal rumahnya, hewan-hewannya, dan kenyamanan hidup di desa.
Setelah beberapa menit, obrolan kualihkan ke persoalan Pak Basit. Di situ tiba-tiba rautnya berubah. "Kenapa Mas tanya-tanya? Semua orang tahu dia lelaki gak becus, suka ngutang," jawabnya ketus.
"Ya dia kan ngilang, Pak. Sapa tahu dia pernah cerita pindah ke mana," kataku.
Menurutku pertanyaanku biasa saja, tapi dia tak menjawab dan tampak kesal. Dia malah masuk ke dalam dan kembali dengan segelas teh di nampan.
"Monggo, Mas, diminum dulu. Pasti capek nyari-nyari Pak Basit," ujarnya.
Setelah kuminum, Pak Wongso minta izin hendak menghadiri acara. Aku pun pamit agar tak mengganggu. Kubilang untuk menghubungiku kalau ada informasi soal Pak Basit, soalnya kunciku masih ia bawa.
Begitu sampai di luar gerbang, mendadak aku merasa mual dan pusing. Rasanya ada yang mengaduk-aduk perutku.
Kucoba sebisa mungkin untuk menahan rasa mual dan terus berjalan. Tetapi semakin jauh aku melangkah, semakin sesak dadaku. Aku tidak kuat lagi. Sekitar 20 meter dari gerbang rumah hijau, aku berlutut di sebelah pohon asem, lalu memuntahkannya.
Sekujur tubuhku menegang, berusaha mengeluarkan isi perut sampai tuntas. Setelah dua kali muntah, perlahan otot-ototku kembali mengendur.
Sekilas kuperhatikan muntahanku, ada yang berkilau di sana. Mungkin aku muntah di atas tumpukan sampah bahan bangunan, pikirku. Aku pun pulang ke Jakarta dengan langkah gontai. Rasanya seperti habis joging 10 km.
Sampai di indekos, aku minum banyak air putih, lalu tertidur. Ketika bangun, kuhampiri seorang teman kos dan duduk nongkrong dengannya.
"Loh, abis ngapain lu, Bro? Kok pucet?" tanyanya.
"Abis muntah-muntah. Nggak tahu nih, apa gara-gara sayur warteg tadi pagi, ya?" jawabku menebak-nebak.
Temanku masih memandangiku. Ia terlihat sangat khawatir. Tidak biasanya ia begini. Selama ini dia selalu meledek kalau ada teman yang sakit. Dia selalu berkata bahwa anak kos nggak boleh sakit. Buat beli nasi aja susah, apalagi berobat. Tapi sikapnya berbeda hari ini.