Cerita Seram dan Menakutkan Nyata Istana Paku Bulan~

Cerita Seram dan Menakutkan Nyata Istana Paku Bulan~

Bantaran sungai itu dipenuhi oleh rerimbunan tanaman yang tumbuh subur. Dari pohon-pohon yang berukuran sedang sampai yang sangat besar, yang usianya mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun.

Bagian yang jadi hak milik salah seorang warga, ada juga yang ditanami pohon bambu.

Salah satu desa yang berbatasan dengan sungai itu adalah desa kelahiran saya. Dan dulu, almarhum kakek saya memiliki sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan bambu, di bantaran sungai itu.

Dan cerita pertama yang akan saya sampaikan adalah yang pernah diceritakan orang tua saya.

Jamuan para Tamu tak diundang 

Bulan (goodnewsfromindonesia.id)

Salah satu keponakan kakek saya, sebut saja namanya Pakdhe Muin. Semasa hidupnya, Dhe Muin senang sekali memancing, kadang juga menjaring ikan di sungai itu, tepatnya disekitar kebun milik kakek saya.

Dulu, sungai disana masih jernih dan memang dikenal melimpah ikannya. Salah satu jenis ikan yang cukup diburu di sungai itu adalah ikan Kakap yang jarang sekali bisa ditangkap oleh orang sekitar.

Hanya beberapa orang yang pernah berhasil menangkap ikan itu.

Dari cerita yang saya dengar dari warga sekitar, ikan Kakap yang pernah tertangkap berukuran sebesar balita.

Namun, siapa yang mendapatkan ikan kakap itu, harus bersiap mengalami konsekuensi yang tak diharapkan. Dari bermimpi didatangi penunggu disungai itu, sakit, bahkan bisa jadi meninggal kalau sampai memakan ikan yang didapatkan itu.

Karena itu, siapa yang mendapatkan ikan itu, pasti akan melepaskannya kembali sebelum ikan itu mati di rumahnya. 

Sudah ada kejadian, yang pernah berhasil menemukan ikan itu, dan membawanya pulang kabarnya, setelah mendapat ikan itu, malamnya orang itu bermimpi didatangi sosok penunggu sungai yang meminta anaknya dibebaskan.

Saat terbangun, dan ingin membebaskan ikan itu, ikan tersebut sudah terlanjur mati.

Alhasil, selang berapa hari kemudian, orang itu dikabarkan-

-terkena penyakit tak wajar, dan akhirnya meninggal.

Hanya dua jenis ikan yang dianggap tabu oleh warga sekitar sungai. Ikan Kakap dan Lele yang berasal dari sungai itu.

Cerita tentang hewan-hewan mistis dari sungai itu, akan saya ceritakan di bagian yang lain dari thread ini.

Dhe Muin, sering menjaring di sungai itu dimalam hari. Ia biasa menjaring ikan sendirian, hanya kadang-kadang saja ia ditemani oleh tetangga atau orang dari desa seberang sungai.

Saat saya kecil, usia dhe muin sudah cukup tua, dan bahkan sampai di usianya itu beliau masih suka menjaring di sungai, disekitar kebun milik kakek saya yang sebelum meninggalnya kakek telah dijual pada warga desa yang lain.

Berdasarkan cerita ibu saya, kejadian itu dialami oleh dhe Muin yang pernah menjaring ikan bersama orang dari desa seberang sungai.

Suatu malam, dhe muin berjalan melalui jalanan kampung membawa jaring yang digendongnya. Sambil menghisap rokok kretek klintingan, ia sesekali menyapa orang yang ditemuinya.

"Yah mene wes pak njaring bae dhe? Opo wes do metu iwak e?"

(Jam segini sudah mau menjaring saja pak? emangnya ikannya sudah pada keluar?) celetuk seorang warga.

"Lha yo palongo rha. Nek njaring kui ojo ngenteni banyu duwur. Ngenteni yo cok klelep kowe! Hahaha"

(Persiapan dong. Menjaring itu, jangan menunggu air sungai naik. Kalau menunggu ya bisa tenggelam kamu!)

Jawabnya diikuti suara tawanya yang khas.

"Sampean nek njaring karo sopo bae si?"

(Anda kalau menjaring ditemani siapa saja sih?) tanya orang yang sama.

"Biasane yo dewekan. Tapi iki ono sing ngejak, dadine yo aku mending sore mangkate"

(Biasanya sih sendirian. Tapi malam ini ada yang mengajak, jadi aku berangkat agak sore).

Ilustrasi (MzTeachuh)

Setelah sedikit meladeni orang yang menyapanya, dhe Muin langsung bergegas pergi ke arah sungai itu, ke daerah yang jadi penghubung desa.

Di daerah itu ada jukung (perahu lebar) yang ditarik dengan kawat besi, yang biasa dipakai untuk menyeberang para warga antar desa. Jukung itu biasa ditarik oleh seseorang yang berasal dari desa seberang, biasa dipanggil dhe Sa'an.

Dhe Sa'an merupakan orang yang cukup paham dengan keadaan bantaran sungai itu, karena ia sendiri tinggal disebuah gubug, yang tak jauh dari lokasi tempat ia biasa menarik Jukung.

Malam itu, daerah bantaran sungai itu begitu gelap. Tak ada pencahayaan disekitarnya. Satu-satunya pencahayaan yang ada hanya dari lampu sentir yang dinyalakan oleh dhe Sa'an yang sedang menunggu penumpang jukungnya.

Dhe Muin sudah terlihat disekitar jalanan dekat bantaran. Dengan hati-hati sambil memegangi jaring yang dibawanya, ia menuruni undakan jalanan setapak kearea sungai yang lokasinya menurun dari area jalan.

Beda ketinggian antara sungai dan jalanan itu sekitar lebih dari 10 meter.

Sebelum sampai di area sungai, beliau menyalakan senter besar yang disering dibawanya saat menjaring.

Senter itu coba diarahkan ke arah jukung yang posisinya seperti terparkir diseberang sungai. Beliau mencari keberadaan dhe Sa'an disekitar sentir yang menyala.

Ketemu, dan dilihatnya lah seorang laki-laki tua, berkulit coklat kehitaman, dengan rambut agak gondrong bersender diatas jukung sambil menghisap rokoknya.

Dhe Muin menepuk tangannya beberapa kali, lalu melambaikan tangannya saat dhe Sa'an menoleh kearahnya.

"Mreneo, aku pak nyebrang!"

(Kesini, aku mau menyebrang).

Si penarik Jukung itu berdiri, dan mulai menarik tali jukung yang terikat antara satu pohon di area desa kami dan desa seberang. Jukung itu perlahan bergerak mendekat kearah dhe Muin yang sudah berada di bibir sungai.

"Kowe ki, wes tuo, bengi-bengi senenge ngeligo. Opo ora atis?"

(Kamu itu sudah tua, malam-malam tak pakai baju. Apa gak dingin?)

Kebiasaan orang itu memang sering tak pakai baju saat menarik Jukung. Katanya kalau pakai baju panas. Wajar sih, memperhatikan bahwa pekerjaannya itu banyak mengeluarkan tenaga, sampai berkeringat.

Air sungai masih mengalir lembut dan tenang malam itu. Diantara kegelapan malam dan suasana bantaran yang sunyi.

Saat Jukung mulai bergerak menyeberang, sempat terdengar bunyi pohon bergesekan dari arah sebrang.

Dhe Muin coba mengarahkan cahaya senternya ke arah bunyi gesekan itu, tiba-tiba ada benda kecil menggelinding, tak kelihatan bentuknya, namun saat benda itu menyentuh aliran sungai terdengar bunyi "byur" yang sempat mengagetkan kedua orang yang ada diatas jukung itu.

"Ono sing lewat lek. Mending pak bali opo sido pak njaring?"

(Ada yang lewat pak. Lebih baik pulang atau jadi menjaring?)

Tanya dhe Sa'an.

"Alah, wes biasa. Ora gumun aku karo kono"

(Ah, sudah biasa. Tak heran aku dengan mereka) sahut dhe Muin.

"Kowe ki, koyo rak kenal aku kae. Wes dek cilik biasa sobo kali koyo kui tok wedi"

(Kamu itu, seperti tak kenal aku saja. Sudah dari kecil biasa main di sungai ini, begitu saja takut)

"Lah, cuman ngomongi lek. Mbok an, ono opo-opo"

(Cuma ngasih tau pak. Siapa tau ada apa-apa)

Keduanya sudah paham betul bahwa ada sesuatu yang tak terlihat, berada disekitar area bantaran sungai itu.

Dari cerita para sesepuh dan orang-orang yang tempat tinggalnya disekitar bantaran sungai itu, ada sebuah istana tak terlihat, yang keberadaannya tak diabaikan oleh mereka.

Cerita itu disampaikan turun temurun kepada anak cucu yang akan tinggal disekitarnya. Dengan tujuan, agar mereka tidak bertingkah sembarangan yang akan membuat penguasanya marah dan mengganggu warga yang lain.

Dhe Muin bersiap turun dari Jukung, menurunkan Jala miliknya, lalu meninggalkan beberapa linting rokok kretek klinting buatannya. Rokok klinting adalah rokok yang dibuat sendiri oleh penghisapnya. 

Biasanya hanya membeli tembakau yang kemudian diramu sendiri dengan dicampur ramuan tertentu hasil ekstraksi rempah-rempah dan cengkeh asli. Dinamakan klinting karena memang dilinting / dibungkus sendiri dengan kertas atau klaras (kulit jagung).



Facebook Conversations


"Berita ini adalah kiriman dari pengguna, isi dari berita ini merupakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna"