Kumpulan Cerita Seram dan Menakutkan Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 Part 7 (Diikuti)

Kumpulan Cerita Seram dan Menakutkan Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 Part 7 (Diikuti)

Kali ini ada kumpulan cerita seram dan menakutkan nih gengs di perkotaan. Ini adalah cerita yang diambil dari akun Facebook @Cerita Horor.

Daripada penasaran mending langsung kita lihat aja yuk gimana kisah dari "Wanita Penunggu Rumah Nomor 13" ini.

  • Kumpulan Cerita Seram dan Menakutkan: Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 Part 6

Jen ....

WHAT'S! ADA SUARA MEMANGGILKU PADAHAL GAK ADA ORANG DISITU!

Jen ....

Tubuhku kaku. Hari sudah menjelang maghrib, tapi aku tak bisa kemana-mana. Tubuhku tak bisa bergerak, hanya kepala yang bisa digerakkan. Lidahku kelu, mau teriak minta tolong gak bisa.

Ilustrasi (LINE Today)

Aku menengok ke arah rumah itu, dan di tirainya, wanita itu melongokkan kepala. Wajahnya putih keabu-abuan. Dua matanya yang mengerikan menatapku. Senyumnya mengembang memperlihatkan gigi yang berlumuran darah. Jen ....

TERNYATA DIA YANG MEMANGGILKU! TAU DARI MANA NAMAKU? SIALAN!

Sekitar satu menit aku memberanikan diri menatapnya. Aku berusaha tak berkedip. Tantangin sekalian. Apa maunya dia?

Dia menatapku tajam, senyum dan senyum. Aku merasa ada sesuatu yang janggal, dia seperti mendekat. Mendekat .....

Woi Jen! Jen! Ngapain di sini? Ternyata Yogi sudah ada di sebelahku.

Hari sudah maghrib. Matahari sebentar lagi benar-benar hilang. Badanku yang tadinya kaku sekarang sudah agak melemas tapi bulu kudukku tetap tegak. Aku memandangi Yogi dengan wajah ketakutan. Yogi memandangiku lalu memandangi rumah nomor 13.

Pulang aja yuk, Jen. Gue anter. Lu mah nyari perkara, kata Yogi.

Aku menurut.

Tiba di rumah, Yogi menceritakan semua pada ibuku. Wajah ibuku serius. Tapi beliau mencoba untuk bijak menanggapi semuanya.

Yang Yogi dengar-dengar itu kan semua belum terbukti. Kita tidak boleh prasangka buruk sama orang lain. Mungkin ini cara Tuhan menegur Jen karena sampai maghrib belum pulang. Kan pamali maghrib-maghrib di luar, kata ibu.

Yogi dan aku cuma pandang-pandangan. Akhirnya dia pamit pulang. Permisi tante, katanya sambil salim ke ibuku.

Aku mengucapkan terima kasih ke Yogi sambil janjian besok ke sekolah. Yogi berjanji menjemputku pukul 06.30 WIB agar kita berdua tak terlambat.

Setelah aku menutup pintu, ibu menyuruhku duduk lagi. Beliau menasihatiku.

Lain kali, jangan kamu usik orang lain supaya orang lain tak mengusikmu. Keingintahuanmu yang besar bisa mencelakakanmu, Jen. Tolong dimengerti kata-kata ibu. Andaikan yang Yogi ceritakan benar, lalu kamu mau apa? Sudahlah. Tugasmu itu belajar, tak perlu mencari tahu kehidupan orang lain, kata ibu.

Aku hanya mengangguk. Ibu meminta sekali lagi agar mengabaikan apa pun yang sekiranya ku dengar, ku cium, dan ku lihat mengenai rumah nomor 13. Ibu juga menyuruhkan terus minta pertolongan pada Tuhan agar selalu dilindungi.

Aku menyanggupi.

Tahun demi tahun, walau ada apa pun yang aneh tapi masih tergolong wajar, aku hanya bisa diam. Ibu, ayah, kakakku, dan adikku juga sama, berusaha bersikap jika itu semua adalah hal yang baik-baik saja. 

Yang sedikit mengusikku, jika ada bayi lahir di komplek perumahan itu, buru-buru dibawa pergi. Kemana tau sampai bayi itu selesai ASI eksklusif. Beberapa kali tetangga kehilangan peliharaan, bahkan yang rumahnya berjauhan dariku. Dan sebagainya.

Penemuan bangkai binatang di atas atap nomor 13 juga seringkali ada di hadapanku. Lagi-lagi aku berusaha biasa. Cuekin aja lah. Bodo amat. Terserah. Biarin. Suka-suka kamu aja, nyai.

Ilustrasi (radarbogor.id)

Waktu berlalu. Lulus SMP, lalu lulus SMA, lalu ke perguruan tinggi, dan akhirnya aku menikah. Dengan siapa? Haha, iya, Yogi. Lantaran tetangga dekat dan teman sepermainan, aku dan Yogi udah lebih mirip sahabat dalam kepompong. Nikah juga gak ramai-ramai banget karena semua orang sudah mengetahui kisah cinta kami. Jadi gak aneh.

Oh iya, hampir seluruh rumah di Jalan Kawi dan Merapi terisi penuh sekarang. Hanya rumah nomor 12 dan 14 saja yang tak berpenghuni. Dulu pernah ada yang membeli, tapi jadi over kredit dan sampai sekarang belum laku. Ada pula yang pernah mengontraknya tetapi hanya bertahan sebulan-dua bulan. Selebihnya, kosong lagi.

Kami menumpang di rumah mertua indah. Bolak balik saja. Kadang seminggu di rumahku, seminggu di rumah Yogi. Saat Yogi diterima kerja di BUMN, rencana aku mau mengontrak rumah sendiri tapi masih di wilayah komplek. Malam ini giliran menginap di rumah ibuku.

Dimana kita ngontrak nanti, mas?

Terserah, ucap Yogi.

Belakang sini? tanyaku sambil ketawa pelan.

Yogi menggeleng keras. Gak, gue gak mau ambil risiko. Ntar juga lu hamil, kan, dih gue gak berani ngucapin tapi udah kebayang yang engga-engga, kata Yogi.

Cieh, khawatir, aku menyenggol Yogi. Mendadak aku mual, ingin muntah.

Nah, kan. Baru juga diomong. Hamil kali lu, periksa yuk, ujar Yogi ada rasa khawatir.

Ya udah ayuk, kataku.

Malam itu kami ke bidan yang buka praktik di depan komplek.

Selamat ya Pak Yogi, istrinya udah 4 minggu ternyata, si bidan menyalami suamiku.

Mata Yogi berbinar-binar. Aku tersenyum melihat suamiku girang.

Kami pulang ke rumah ibuku. Tapi entah kenapa Yogi mendadak ingin malam itu menginap di rumah ibunya. Gue deg-degan gini, ya. Nginep rumah nyokap gue aja ya, yang, kata Yogi.

Aku aneh melihat dia. Tapi kuiyakan. Ya udah terserah, bilang dulu sama ibu, kataku.

Yogi meminta izin pada ayah dan ibuku. Ibuku mengiyakan setelah sebelumnya keduanya ikutan girang karena kabar bahwa kami akan punya anak. Kami pun langsung ke rumah mertuaku. 

Lupa cerita, Yogi berdarah Kalimantan, Bali, Jawa. Perilmuan supranatural hal yang biasa di rumahnya. Ibunya pun bisa melihat hal-hal gaib yang tak bisa dilihat orang biasa sepertiku. Meski begitu, Yogi dan aku merupakan produk zaman sekarang yang gak repot dengan mistis.

Assalammualaikum, Yogi mengucapkan salam masuk ke rumah orangtuanya.

Waalaikumsalam, mertua laki-laki menjawab salam. Bapak mertuaku orangnya lucu. Gemuk dan punya pipi bulat. Dia sayangnya minta ampun padaku, mungkin karena sama-sama orang Jawa. Dari mana ini? Kata bapak mertuaku sambil mengacak-acak rambutku. Ibu mertuaku sedang di kamar mandi.

Saat beliau keluar dan menghampiri kami, mendadak wajah beliau menegang. Tutup pintu rumah. Yogi, tutup sekarang! katanya setengah berteriak. Aku bingung sekaligus bengong. Aku berinisiatif menutupnya tapi dicegah. Jen, menjauh dari pintu. Yogi! Cepat! Suamiku segera menutup pintu.

Ibu, udah malem juga, jangan teriak sih, kata Yogi.

Lu gak tau yang ibu liat dan yang gue liat, mas. Jadi lu diem aja, kata Nita adik iparku menyambar.

Yogi pun diam dan maklum. Nita memang juga bisa melihat mahluk astral. Segera setelah ibu mertua komat-kamit membaca doa, dia menghampiriku. Alhamdulillah, puji Tuhan ya, selamat, katanya. Yah, beginilah kalau punya mertua udah bisa melihat masa depan. Kami belum cerita aja, dia sudah ngerti.

Eh, kenapa nih? tanya bapak mertua. Aku cuma ngikik.



Facebook Conversations


"Berita ini adalah kiriman dari pengguna, isi dari berita ini merupakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna"