Healang, healing, healang, healing, bangkrut! Mungkin kamu sering membaca atau mendengar kalimat tersebut. Emang salah ya, refresh sejenak setelah berhari-hari kerja? Eh, tapi aku kok lama-lama malah boros ya kalau dipikir-pikir. Daripada bingung, yuk baca artikel ini sampai kelar. Cekidot!
Setelah seharian bekerja, kalian mungkin lelah dan ingin mencari "hiburan". Salah satunya adalah dengan membuka Instagram untuk menghilangkan penat. Sesekali akan muncul iklan parfum, pakaian, skincare, bahkan aplikasi pencarian jodoh saat kalian asyik nge-scroll.
Dewasa ini, di InstaStory, beberapa influencer menggaungkan tentang pentingnya "me time" di tengah pandemi. Seorang teman memamerkan habis ikut kelas yoga atau zumba. Bahkan liburan ke tempat-tempat instagramble. Praktik menyayangi diri semacam ini lebih dikenal dengan sebutan "self-care". Namun anehnya, semakin ke sini, tindakan merawat diri yang bersifat pribadi semakin bergerak ke arah yang menguntungkan industri.
Awal tahun ini, perusahaan konsultan memperkirakan "pasar wellness global" bernilai $1,5 triliun (Rp21 kuadriliun), dengan pertumbuhan tahunan 5 hingga 10 persen. Seperti yang bisa kalian lihat sendiri di media sosial, gaya hidup sehat telah bertransformasi menjadi produk yang dikonsumsi. Sejak kapan self-care berubah arti jadi belanja? Kenapa praktik ini menjadi sangat boros?
Beberapa meyakini pertumbuhan sikap memanjakan diri yang marak di industri self-care saat ini bisa ditelusuri sejak awal istilah tersebut diadopsi. Istilah "self-care" diyakini berasal dari kalangan aktivis kulit Hitam pada 1980-an, melalui feminis Audre Lorde yang menulis: "Merawat diri sendiri tak sama dengan memanjakan diri. Itu tindakan pemeliharaan diri dan perang politik." Pada masanya, merebut kembali perawatan kesehatan dianggap sebagai tindakan politik melawan institusi kesehatan yang rasis dan seksis.
Tindakan radikal yang disebut perawatan diri ini awalnya dimaksudkan untuk melawan sistem, tapi sekarang dirombak oleh kapitalisme dan feminisme kulit putih sebagai hal yang mendukung sistem tersebut. Jika kita harus mengonsumsi produk untuk merawat diri, bukankah itu artinya self-care hanyalah jeda sesaat dari kapitalisme? Membuat kita beristirahat hanya untuk menjadi mesin manusia yang lebih produktif?
Menurut penulis dan sejarawan Daniela Blei, budaya wellness modern dapat ditelusuri ke kelas menengah Eropa yang menganggap masyarakat industri abad ke-19 degeneratif. Mereka menciptakan budaya wellness yang disebut "reformasi kehidupan", yang mencakup pola makan mentah dan retret eksklusif. Wellness sontak berubah menjadi estetika dan produk untuk dikonsumsi—awal dari industri wellness yang kita kenal sekarang.
Gagasan menjaga kesehatan yang dianut orang Eropa jelas berbeda dari yang terbentuk di budaya lain sebelum abad ke-19. Dewasa ini, banyak praktik tradisional dan spiritual suatu budaya (misal yoga, membakar dupa, dan sebagainya) diberi sentuhan modern agar lebih estetik dan mementingkan diri sendiri—sangat berlawanan dengan nilai-nilai yang tertanam dalam budaya aslinya.