Malam ini, aku menginap di rumah Bibi Rani, Bibi ku yang tinggal di lereng pergunungan. Rumah ini sudah cukup tua, dengan lantai dan pintu kayu serta pepohonan rimbun di sekitarnya yang kadang membuat sanak-saudara enggan berkunjung.
Terkecuali aku, tentunya. Dari kecil, aku sudah dekat dengan Bibi Rani. Sebelum Paman Reno meninggal, dia berpesan untuk menjaga semua yang pernah Paman Reno berikan ke Bibi Rani.
Salah satunya adalah, rumah ini.
Bibi Rani sangat menyayangi Paman Reno, oleh karna itu ia enggan bila dibujuk orangtua ku untuk pindah. Mau apapun yang ditawarkan, takkan membuat pendiriannya goyah.
Hujan turun dengan derasnya malam ini, aku enggan untuk menyalakan televisi karna takut petir menyambar. Jadi, aku habiskan waktu sebelum tidurku untuk berbincang dengan Bibi Rani.
Bibi Rani memberiku susu coklat hangat, aku tersenyum.
“Terimakasih Bibi,”
Ia balas tersenyum. Lalu sedikit menengok ke jendela, suasana gelap di luar sana terkadang membuatku merinding.
“Saat sedang seperti ini,” Bibi ku mulai berbicara, ia masih melihat ke luar jendela. “Aku selalu teringat apa yang pernah terjadi padaku.”
Seketika, aku penasaran.
“Ceritakan Bibi, ceritakan,” kata ku membujuknya. Ia memandangku lekat.
“Sekitar sebulan yang lalu,” katanya sambil menengokkan kepalanya ke atas, mengingat-ngingat.
“Aku, malam itu, sedang merajut. Malam itu, sama seperti malam ini, hujan badai yang kencang, aku sempat merasa takut karna waktu itu aku sendirian di rumah.”
Bibi ku menundukan pandangannya kebawah.
“Saat itu jam 11, aku sudah selesai merajut dan akan pergi ke kamar. Tapi, niat ku itu lenyap ketika samar-samar, aku mendengar suara ketukan di pintu depan..”