Udah baca part sebelumnya, kan? Nah, tibalah kita di part 5 di mana keadaan lokasi KKN makin mencekam dan menengangkan. Gimana kelanjutanya? Kuy kita simak di sini~
"2 jam" kata Wahyu, saku wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motore- (aku sudah ijin pak Prabu, boleh pinjem motornya)
"nggih pon, melu" (ya sudah, ikut)
Wahyu melihat jam di tanganya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusanya di kota, Karena sesaat sebelum meminta ijin, pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum hari petang, saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang gampang di telusuri untuk masuk ke hutan ini.
Dengan wajah tidak tertebak, pak Prabu, mengatakan, "gak onok sing ngerti opo sing onok gok jerdne Alas le" (tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal didalam hutan nak)
Mereka berangkat, menembus jalan setapak, lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh, sampai akhimya mereka tiba di kota B, disana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.
Kurang lebih setelah 2 jam, Mencari kesana kemari dan setelah mendapatkanya, mereka langsung cepat kembali.
Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.
Jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore,
Sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok, ketika Wahyu sampai disana, ia membeli beberapa cilok, untuk Widya dan dirinya sendiri, saat itulah, si penjual cilok melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.
"Mas nya pendatang?" kata orang asing itu. "mboten pak "kulo KKN ten mriki" (tidak pak, saya hanya KKN disini)
"tetep ae, wong joboh to" (tetap saja, orang luar kan?) kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.
"nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?"
Wahyu menceritakan semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali perubahan wajah si penjual. "Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D******"*??
(berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan D*******??)
"iggih pak" (iya pak)
"loh loh, halah dalah" "wes yangmene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yangmene, jarang onok sing liwat" (sudah jam segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam segini sudah jarang ada yang lewat) kata si bapak.
"mboten pak, kulo bablas mawon (tidak pak, saya lanjut saja) kata Wahyu,
"ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu-ne sampeyan??" (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar) si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.
"nggih pak" kata Wahyu.
Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas ******
"ngeten ma" (begini mas) "engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros- (nanti setelah kalian sampai dan masuk ke jalanan hutanya, jalan saja ya terus)
"ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas"(gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)
"ojok lali, moco dungo'e sing katah"(jangan lupa doanya yg banyak)
"sing paling penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan sampe di gawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah di urus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih" (yang paling penting, jika kalian dengar suara tanpa wujud, tetap lanjut saja, jika sampai kalian di bikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan pernah berhenti disana, yang penting tidak usah di perdulikan, kalian percaya saja, doanya juga utamakan).
Widya tidak pernah mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.
"kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang Tujuan" (saya doakan kalian selamat sampai tujuan)
Tepat ketika langit sudah kemerahan,
Mereka melanjutkan perjalanan, di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin, melewatinya begitu saja. tidak pernah di sangka, jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang.
Cahaya motor yang dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakan, hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak di temui satupun pengendara lain disini
Wahyu mencoba mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah antara hutan ini sementara belum di temui satupun pengendara yang lewat, Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian wahyu terjadi pada mereka, dan benar saja.
Motor mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu.
Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala Doa bisa saja di kabulkan sewaktu-waktu.
"mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu" (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu) kata Wahyu, udah tidak tahan mendengar berapa kali kata 'Goblok' keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini.
Sembari mencoba menstarter motor
Entah berapa lama mereka berjalan, dan masih belum di temui satupun pengendara yang di mintai pertolongan, Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian didepan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat.
Sampai, langkah kakinya berhenti.
Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. pasti.
"nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau" (kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku dari tadi sudah capek dorong motor dari tadi).
Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.
"yu, krungu ora?? suara mantenan??" (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??)
Sukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengamya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.
"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae" (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja).
Seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, di iringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan, sampai, di lihatnya, terdapat jenur kuning melengkung, disana, Widya melihatnya.
Sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan, disana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik di dendangkan.
Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.
"Nopo le" (ada apa nak?) suaranya halus sekali, sangat halus, -sepedee mblodok?' (motomya mogok?)
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.
Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda, menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya di betulkan.
Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri.
Ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang di tabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.
"aku ra eroh nek onok kampung nang kene?" (aku tidak tau ada kampung disini?)
Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung, didepan penabuh gamelan masih ada ruang, acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.
Rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab, dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya.
Di ikuti serombongan orang, dihadapanya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung, kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung, semua mata, seperti terhipnotis melihatnya.
"Ayune currr!!!" (cantik sekali anj*ng!!) kata Wahyu
Bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya, ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka.
Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapanya, sembari bercakap-cakap sama si bapak tua, namun Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis. setelah si penari turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa di naikin lagi, benar saja.
Motor mereka sudah bisa di pakai lagi, sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan.
Serem juga ya? Nah, penasaran sama kelanjutan cerita Widya dan Wahyu? Kita simak di part selanjutnya ya, part 6 gengs~