Kisah sebelumnya: Part 3
Cerita seram dan menakutkan nyata berlanjut...
Lek Tarjo kembali menuju ketempat Dhe Muin berada.
Tak lama kemudian, orang asing dan pemilik rumah itu keluar dari kamar. Keduanya seperti telah membuat kesepakatan tertentu, karena sekeluarnya mereka dari kamar, orang asih itu seperti bersalaman dengan pose sungkem, dan orang asing itu terdengar seperti mengucapkan terima kasih.
Setelah meninggalkan dhe Muin dan lek Tarjo cukup lama, orang asing itu mendatanginya, disusul si pemilik rumah.
Orang asing itu cukup terlihat gembira, sambil mengatakan bahwa si pemilik rumah baru saja menawarinya makan malam. Lek Tarjo yang belum sempat makan malam, ditambah sebelumnya telah berjalan cukup jauh, memang merasa sangat lapar.
Mereka pun diajak ke sebuah ruang makan, dimana ada beberapa hidangan yang terlihat istimewa dan menggiurkan siapa pun yang melihat.
Mereka bertiga pun diajak duduk di meja makan itu untuk bersiap menikmati makanan yang sudah dihidangkan.
Dhe Muin agak curiga dengan semua hal yang ada di tempat itu. Kedatangan mereka seperti sudah diperkirakan.
Siapa sebenarnya orang yang ikut bersama mereka itu?
"Wah, rejeki ne ndewe lek. Pas, aku yo durung makan awet sore"
(Wah, rejekinya kita pak. Kebetulan, aku juga belum makan dari sore)
Lek tarjo begitu antusias, seakan ingin mencicipi setiap hidangan yang ada.
Sementara dhe Muin malah memperhatikan setiap hidangan dengan tatapan yang tak biasa.
Lek Tarjo, mungkin tak menyadari apa yang dilihatnya, tapi dhe Muin, secara samar dapat melihat apa yang ada dihadapan mereka.
Makanan yang ada, tak seperti apa yang mereka lihat secara kasat mata.
"Ojo di delokke tok, wes, monggo dicicipi" Seru pemilik rumah
Dhe Muin sempat mengingatkan lek Tarjo dengan suara berbisik. Namun, si pemilik rumah terus mempersilakan, bahkan agak memaksa mereka.
Orang yang tadi ikut bersama dengan mereka, sudah mulai mengambil beberapa makanan.
Sepiring nasi telah ia ambil, dan seonggok daging ayam dengan bagian yang masih lengkap diambilnya dari bejana yang masih penuh dengan sajian daging yang menggiurkan.
Dari gelagatnya, lek Tarjo hampir ikut mengambil hidangan yang sama dengan orang itu.
Sedangkan dhe muin terus mengingatkannya berkali-kali dengan suara lirih.
Dua orang itu, sudah mengambil hidangan masing, masing. Sementara dhe muin tak mengambil apa pun, dan terus beralasan saat dipersilakan. Seketika, dhe muin terlihat begitu ketakutan saat melihat hidangan yang telah mereka ambil, dan siap disantap.
Bukan lagi terlihat sebagai daging ayam, apa yang ada dihadapan kedua orang itu menurut apa yang dilihat dhe muin, telah berubah menjadi seonggok daging anak manusia yang berkepala utuh.
Dhe Muin hanya beristighfar, dan sangat meyakini dimana sebenarnya mereka berada.
Lek Tarjo terlihat cukup lahap menyantap makanannya. Begitu pula dengan orang yang duduk disampingnya.
Keduanya seakan menikmati daging ayam yang dimakannya.
"Sampean ora melu mangan rugi lek. Enak e por"
(Kamu tidak ikut makan rugi, pak. Enak sekali)
"Astaghfirullah", gumam dhe Muin.
Si pemilik rumah tak menghiraukan dhe Muin yang hanya memperhatikan kedua orang disampingnya.
Seakan, ia tak peduli dhe Muin ikut makan atau tidak. Ia sudah cukup terlihat senang dengan kedua orang yang begitu menikmati jamuan darinya.
Orang disamping lek Tarjo hampir menghabiskan sisa makanannya. Sedangkan lek Tarjo, sudah mulai merasa kekenyangan meski makanan yang disantapnya belum habis.
Ia seakan tak sanggup menghabiskan sisa makanannya.
"Telaske pak, ampun disisani. Mboten sae. Mundak ditelaske setan"
(Habiskan pak, jangan disisakan. Pamali, nanti dihabiskan setan)
Tegur orang itu.
Namun, lek Tarjo sudah tak sanggup lagi menghabiskan sisa makanannya, sehingga tubuhnya seakan tak bisa untuk berdiri. Ia menyenderkan tubuhnya di senderan kursi, sambil memegang perutnya.
"Tarjo, tarjo, dikandani ojo melu mangan malah nekat",
(Tarjo, tarjo, dibilangin jangan ikut makan malah nekat), ucap dhe Muin dalam hati.
Setelah menyelesaikan makan malam itu, ketiga orang tamu itu dipersilakan meninggalkan ruangan dan menunggu pemilik rumah di ruangan awal.
Lek Tarjo dan orang itu, berjalan didepan, sedangkan dhe Muin, sepertinya masih memperhatikan sisa makanan lek Tarjo yang belum dihabiskannya.
Sesuatu yang membuatnya bergidik ngeri, saat pandangannya beralih ke pemilik rumah yang memperhatikannya.
Terlihat senyuman nyengir, kepuasan dari wajahnya.
Dhe Muin menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruang makan itu, saat tiba-tiba dari arah lain seakan ada gerombolan makhluk yang mengerikan seperti menyerbu sisa makanan yang ditinggalkan lek tarjo.
Seketika, terdengar suara jeritan seorang anak yang berteriak kesakitan dan memanggil orang tuanya.
"Paaaaakkkk", suaranya cukup melengking, tapi anehnya kedua orang yang sudah berada diluar seakan tak mendengar teriakan itu.
"Laa hawla wa laa quwwata Illa billah"
Seakan hanya kalimat itu yang mampu diucapkan dhe Muin.
Mungkin, saat itulah terjadi sesuatu yang tak wajar di rumah lek Tarjo.
Mereka kembali berada di ruangan awal untuk menunggu si pemilik rumah. Entah apa yang sedang dilakukan, mereka dibuat cukup lama menunggu.
Dhe Muin sempat merasa khawatir terhadap keluarganya.
Lek Tarjo kembali berkeliling ruangan itu, memperhatikan keanehan yang sepertinya ia sadari.
"Lek, koyone lukisan ning ruangan iki kok koyo nambah yo?"
(Pak, sepertinya lukisan di ruangan ini bertambah ya?) ujar lek Tarjo, merasa keheranan.
Lukisan di ruangan itu, memang telah bertambah dua buah, masing-masing bergambar abstrak membentuk tubuh anak kecil.
Lek tarjo, mengamati satu lukisan yang baru dilihatnya, bergambar seperti tubuh anak kecil yang cacat, dengan bentuk fisik yang tak sempurna. Sedangkan lukisan yang satunya, diamati seperti membentuk wajah anaknya.
Belum sempat ia mengamati lukisan itu dengan jelas, tiba tiba si pemilik rumah itu datang menemui mereka dengan raut wajah yang agak berbeda dari sebelumnya.
Ia memanggil dan membentak seseorang yang tadi bersama dhe Muin dan lek Tarjo ke tempat itu.
"Sembrono kowe! Barang elek gowo mlebu ngomah iki!"
(Sembarangan kamu! Barang jelek dibawa masuk ke rumah ini!)
"Barangmu ora tak trimo. Milih mok jupuk gowo bali, opo ganti rugi?"
(Barangmu tidak saya terima. Pilih kamu bawa pulang lagi, atau ganti rugi?)
Dan terjadi pertengkaran di ruangan itu, yang membuat dhe muin dan lek Tarjo merasa ketakutan. Pasalnya, mereka tak benar-benar memahami apa yang sedang diributkan oleh kedua orang yang awalnya dikira saling mengenal itu.
Pertengkaran itu, akhirnya berniat diselesaikan di ruangan lain.
Pemilik rumah mengingatkan lek Tarjo dan dhe Muin untuk tetap berada di ruangan itu, dan tidak coba menyentuk atau mengusik benda apa pun yang ada.
Lek Tarjo dan dhe muin hanya menurut dengan tingkah yang agak ketakutan.
"Priye iki Jo? Kok dadi koyo iki?"
(Bagaimana ini Jo? Kok jadi seperti ini?)
gumam dhe Muin.
"Gara-gara kowe ndadak melu-melu wong kae mrene, malah dadi ndewe kegowo urusan rak genah"
(Gara-gara kamu ikut-ikutan orang itu kesini, kita jadi terbawa urusan yang tak jelas.)
Nampaknya lek Tarjo sudah merasa lebih tenang dari sebelumnya, dan hanya menanggapi dhe Muin dengan santai.
"Ah mbuh lek. Aku ora melu-melu urusan e wong kae. Sing penting, aku melu mangan, wes wareg"
(Tak apa pak. Aku tak ikut campur dengan urusan orang itu. Yang penting, aku sudah ikut makan, sudah kenyang).
Kedua orang itu pun, tetap menunggu ditempat itu, hingga pada akhirnya ada seseorang yang datang menyusul mereka.