Tidak ada yang tahu pasti awal mula kemunculan tradisi ini. Tapi biasanya, orang-orang India mengatikan hal ini dengan Dewi Sati, seorang dewi dalam ajaran Hindu.
Sang Dewi membakar dirinya hidup-hidup hingga mati dalam api yang diciptakannya sendiri melalui kekuatan yoga yang dia kumpulkan. Sang dewi melakukan hal ini lantara tak terima dengan hinaan ayahnya tentang suaminya, Dewa Siwa.
Dalam mitos itu, Dewa Siwa tetap hidup dan membalas kematian Dewi Sati. Dia kemudian dipercaya bereinkarnasi jadi dewi lagi yaitu Dewi Parvati.
Dikutip dari Culture Trip, Sati melambangkan penutupan pernikahan berdasarkan kepercayaan Hindu kuno. Sati dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan. Ini murni dilakukan karena sang istri ingin menjadi pasangan yang berbakti dan mengikuti suaminya ke alam baka.
Namun seiring waktu, tradisi ini menjadi sesuatu yang "dipaksakan". Secara tradisional, sosok seorang janda di India tidak memiliki peranan dan dianggap sebagai beban. Katanya nih, kalo seorang janda ditinggal mati suaminya dan gak punya anak, maka dia akan "ditekan" oleh masyarakat untuk melakukan tradisi Sati.
Sejalan dengan itu, kesulitan hidup menjadi seorang janda juga menjadi alasan terbesar praktik Sati berkembang di India.
Praktik Sati terbesar dalam sejarah terjadi sekitar tahun 1100-an di Bengali. Masyarakat di sana kala itu masih menganut sistem hukum Dayabhaga. Namun saat ini, para janda didorong untuk melakukan Sati agar harta warisan yang mereka miliki dapat segera dialihkan ke anggota keluarganya.
Praktik ini sebenarnya pernah dilarang pada abad ke-16 silam oleh Mughal Humayun, seorang penguasa India. Praktik ini sempat hidup lagi hingga beberapa abad kemudian, namun kembali dilarang oleh pemerintah kolonial Inggris mulai tahun 1829.