Kisah Gusti Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani atau akrab dikenal dengan nama Gusti Noeroel, perempuan putri keraton yang antipoligami, menjadi cerita sejarah menarik yang pernah terjadi di Indonesia. Bagaimana tidak, kecantikan dan kecerdasannya mampu menghipnotis banyak pria, termasuk Sultan HB IX hingga Presiden pertama RI, Soekarno.
Saat memasuki usia 20 tahun, ayah Gusti Nurul memanggil dan mengatakan bahwa telah datang utusan dari Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menanyakan tentangnya. Tujuannya adalah ingin meminangnya menjadi istri.
Akan tetapi, dilansir dari berbagai sumber, Gusti Nurul menolak pinangan Sultan HB IX tersebut karena alasan Gusti Nurul tak mau dimadu alias dipoligami.
Padahal, menjadi permaisuri atau istri Sultan merupakan dambaan banyak perempuan kala itu karena mendapat kedudukan istimewa. Namun, Gusti Nurul mengatakan, Sri Sultan HB IX seorang yang berbesar hati dan menerima penolakan itu dan tetap menjaga hubungan dengan baik dengannya.
Kendati demikian, setiap bertemu, Sultan selalu mendesak menanyakan alasan Gusti Nurul menolak pinangannya. Ia pun akhirnya memberi jawaban kalau ia tidak akan bisa tidur kalau dimadu. Jawaban tersebut sontak membuat Sultan tertawa.
Tak hanya Sultan yang mau memperistri Gusti Nurul. Ada juga seorang kolonel G.P. H Djatikusumo yang juga tercatat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama.
Ada juga lelaki dari bangsawan lain dari Yogya. Namun sayang, lagi-lagi cinta mereka ditolak. Selain bangsawan dan perwira tinggi, ternyata ada juga tokoh politik yang suka pada Gusti Nurul, yakni Sutan Sjahrir.
Gusti Nurul mengenang, setiap rapat kabinet digelar di Yogyakarta, Sjahrir selalu mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman ke Pura Mangkunegaran khusus untuk mengantar hadiah yang dibelinya di Jakarta.
Hadiah itu berupa selendang sutera, tas, bahkan jam tangan dengan merek terkenal. Bersama hadiah itu juga terlampir surat.
Bahkan Sutan Sjahrir pernah mengundang Gusti Nurul sekeluarga untuk berkunjung ke Linggarjati dan menginap di rumah perundingan Belanda-Indonesia itu.