Curhatan Horor KKN Desa Penari Part 3

Curhatan Horor KKN Desa Penari Part 3

Udah baca part 2 sampe abis belom gengs? Rasanya jadi gimanaaa gitu .... Nah, daripada penasaran gimana kalau kita lanjutkan saja cerita KKN Desa Penari di part 3 ini, kuy kita baca bareng-bareng ya~


la berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badanya, Widya merasakan dingin air itu membilas badanya. 

Sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding. 

Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya. 

siapa pemilik wajah cantik itu? Kemudian, kidung itu terdengar lagi. Widya berbalik mengamati, suaranya, dari luar bilik. tempat Nur berdiri seorang diri. 

apakah Nur yang sedang berkidung? pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya. 

Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.

Desa Penari (pepnews.com)

"Nur, awakmu isok kidung jawa ya?" (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?) 

Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam. 

Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu. 

Listrik di desa ini menggunakan tenaga Genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul lampu sudah mati, di ganti dengan petromak, Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk Proker esok hari. 

Widya masih teringat kejadian sore tadi. Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kernarin, sepertinya ia bakal di semprot dan berujung pada pidato tengah malam.

Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik. 

"mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar" (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh darisana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar) 

Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu

"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana) 

"duduk aku" (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak. (jadi yang mengajak awalnya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada) 

"lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!" (lah terus kamu tetap kesana) 

"cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang)

Perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu. 

Widya merasa perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau. 

Desa Penari (yuniar-ximipa319.blogspot.com)

Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, disana ia metihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu, Tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar.

Ragu apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur. 

Rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamamya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah kesana. 

Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya, bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya, dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat sepi, di lihatnya kesana-kemari mencari dimana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depanya.

Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional. 

Widya, termengu mematung melihat temanya seperti itu. ragu, widya mendekatinya. tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini. 

'Nur' panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya, ia masih berlenggak lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulukuduk terasa berdiri ketika memandangnya.

 

Dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut, Tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu. 

Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya. 

Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tarianya, ia berteriak meminta temanya agar berhenti bersikap aneh, dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan. Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya. 

Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil namanya.

 

Wahyu. Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.

 

"bengi-bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kener!!" (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian disini seorang diri) 

Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah. 

"ono opo to ndok?" (ada apa sih nak?) kalimat itu lah yang pertama kali Widya dengar, si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, is juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain. kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu.

Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang, karena penasaran, wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya. 

Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar, si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut. 

Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu. 

Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya. 

Namun malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolatrolah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius. 

Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu, beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian, Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.

Desa Penari (Wattpad.id)

Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya. 

Had itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya. 

Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar merekamasuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang. Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. 

Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai jam, malah tidak sampai menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput 

Rumah yang pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang. 

Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang-orang desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain. 

derpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata. 

Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. 

Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun pak Prabu memanggilnya mbah Buyut, setelah pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir. 

Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekedar mencuri pandang saja, tidak lebih. 

Dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka. 

"Monggo" (silahkan) kata beliau, matanya memandang Widya. 

Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut is meneguk kopi itu meski hanya saw tegukan saja. 

Kopinya manis, ada aroma melati didalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong. 

Tidak hanya Widya, semua orang di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya "tidak baik menolak pemberian tuan rumah."

Semua akhirya mencobanya Berikutnya. Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang is teguk, mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa di tolerin masuk ke tenggorokan.

 

Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja. 

"begini" kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa jawa halus sekali, sampai ucapanya kadang tidak bisa di pahami semua anak. ada kalimat, penari dan penunggu, namun yang lainya tidak dapat di cerna. 

la menunjuk Widya tepat didepan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius. 

Pak Prabu mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang. 

Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja. 

Kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya, selama perjalanan, pak Prabu bercerita, tentang kopi. 

Kopi yang di hidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang di racik khusus untuk memanggil Lelembut, Demit dan sejenisnya, bukan kopi untuk manusia, mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkanya, namun, bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali. 

Semua anak memandang Widya. Namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. "sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetuti" (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti) 

Selain mengatakan itu, pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan, hanya di ikuti saja, yang lebih penting, Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya, untuk itu, pak Prabu punya gagasan. 

Eh, masih ada selanjutnya lho gengs. Kita lanjutkan di part 4 ya~

Facebook Conversations


"Berita ini adalah kiriman dari pengguna, isi dari berita ini merupakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna"