Cerita seram dan menakutkan nyata Istana Paku Bulan sebelumnya: Part 4
"Mboten nopo-nopo pak. Kulo nggih badhe nusul njenengan, terose sampun dipadosi keluargane njenengan"
(Tak ada apa-apa pak. Saya hanya ingin menusul kalian. Sepertinya kalian sudah dicari keluarga kalian).
Tak lama kemudian, si pengantar tadi kembali bersama pemilik rumah. Pemilik rumah itu seperti sudah reda dari emosinya, lalu menyambut kedatangan orang yang sepertinya berasal dari desa yang sama dengan lek Tarjo.
"Nyuwun sewu, nggih meniko angsal, kulo badhe matur kalih panjenengan."
(Permisi, kalau diijinkan, saya ingin berbicara dengan anda).
"Nggih, saged. Monggo mlebet rumiyin"
(Iya, boleh. Silakan masuk)
Pemilik rumah mempersilakan orang itu masuk kedalam ruangan lain di rumah itu. Sebelum meninggalkan lek Tarjo dan dhe Muin, orang itu berpesan, nantinya setelah ia menemui pemilik rumah, mereka mungkin akan diperbolehkan untuk meninggalkan tempat itu.
Lek Tarjo dan dhe Muin pun mengiyakan isyarat yang diberikannya.
Dhe Muin sudah bisa merasa lega, karena sudah ada seseorang yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan mereka dari tempat itu.
Dan benar saja, tak lama kemudian orang itu kembali tanpa disertai pemilik rumah.
"Njenengan sedoyo, monggo wangsul rumiyin. Kulo taksih wonten urusan ten mriki."
(Kalian berdua, silakan pulang duluan. Saya masih ada urusan disini).
"Mangke, yen sampun medal saking mriki, mending njenengan langsung wangsul ten griyo piyambak. Ampun mampir nggih"
(Nanti, kalau sudah keluar dari sini, lebih baik kalian langsung pulang ke rumah masing-masing. Jangan mampir), pesan orang itu.
Lek Tarjo dan dhe Muin mengiyakan pesan dari orang itu, dan langsung pamit dan berterima kasih pada orang itu.
Dan setelah keduanya pergi, orang itu kembali menemui pemilik rumah.
Begitulah cerita yang disampaikan oleh dhe Muin kepada pihak keluarganya dan para warga desa yang datang ke rumahnya.
Sampai dengan tahlilan 7 hari meninggalnya anak lek Tarjo, dhe muin ikut datang ke rumahnya di desa seberang.
Disana dhe Muin pun menyampaikan cerita yang sama.
Pada lek Tarjo dan keluarganya, dhe Muin menjelaskan. Sejak awal bertemu dengan orang asing yang ditemui dengan Lek Tarjo, dhe Muin sudah mencurigai gelagat orang itu.
Lalu, saat mereka ditemui oleh dhe Sa'an, dhe Muin pun sudah tau bahwa bukan dhe Sa'an yang mendatangi mereka.
Sosok yang malih rupo menjadi dhe Sa'an adalah salah satu pengantar dari istana tak kasat mata yang tersembunyi di suatu tempat di sekitar bantaran sungai.
Maka dari itu, dhe Muin sempat membiarkan orang asing itu pergi bersama sosok penyerupa dhe Sa'an.
Namun, ternyata ada maksud lain yang mungkin merupakan kehendak penguasa istana, dan akhirnya mereka jadi ikut terbawa pada kejadian itu.
Dhe Muin kembali menjelaskan pada lek Tarjo, saat ia melihat lihat lukisan yang ada di istana itu, lukisan tersebut merupakan wadah para korban yang diambil oleh penguasa istana. Ada korban yang meninggal karena hanyut disungai, korban tenggelam, dan korban para tamu istana.
Terkait dengan korban para tamu istana, berkaitan dengan cerita tentang buaya putih, yang sudah banyak diketahui warga desa sekitar bantaran sungai.
Saat lek Tarjo menikmati sajian yang disediakan, sebenarnya apa yang dimakan oleh lek tarjo adalah sosok anaknya sendiri.
Namun, lek Tarjo melakukan kesalahan, tak menghabiskan makanannya, karena sisa makanan yang terkait dengan jasad anaknya, akhirnya menjadi rebutan para penunggu istana itu. Akibatnya jasad anaknya yang berada di rumah pun kesakitan hingga berdarah-darah.
Dan orang asing yang bersama mereka ke istana itu, memang sudah berniat untuk mengunduh pesugihan ditempat itu. Sayangnya, penguasa merasa tersinggung, karena orang itu memberikan tumbal yang tidak pantas, dan membuat penguasa marah.
Beruntung, mereka berdua diselamatkan oleh seorang warga desa yang ternyata adalah kyai sepuh dari desa itu.
Pak kyai yang hadir pun melanjutkan cerita yang dijelaskan oleh dhe Muin.
Saat kyai melihat kondisi anak lek Tarjo di malam kejadian, pak Kyai menduga bahwa lek Tarjo sedang tersesat dan masuk dalam istana.
Tak ingin ada kejadian lain, pak Kyai memutuskan untuk menjemput lek Tarjo yang ternyata bersama dhe Muin.
Setelah mengetahui alasan kenapa mereka bisa tersesat dalam istana itu, pak kyai pun memohon pada penguasa agar membebaskan kedua warga desa yang sebenarnya tak berniat datang kesana.
Terkait dengan nasib orang asing itu, menurut pak Kyai, orang asing itu akhirnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sekaligus menjadi alasan kenapa penguasa istana itu bersedia membebaskan lek Tarjo dan dhe Muin dari istana itu.
Ada pelajaran yang disampaikan oleh pak kyai atas kejadian itu.
Pada dasarnya, istana itu tidak pernah ingin merugikan desa sekitar.
Kehadiran hal ghaib yang ada disekitar kita, adalah sebagai penyeimbang sekaligus kontrol.
Agar masyarakat sekitar dapat menjaga perilakunya dalam berhubungan antar manusia dengan manusia, maupun manusia dengan hal-hal ghaib disekitarnya.
Kejadian itu pun merupakan pengingat agar jangan ada lagi warga desa sekitar yang memperkaya diri dengan cara yang instan, bekerja sama dengan makhluk ghaib.
Serta, perlunya warga sekitar bantaran sungai, agar berhati-hati ketika berada disekitarnya.
Ada mitos di sekitar bantaran sungai itu. Konon, warga desa sekitar sungai, menghimbau agar siapa pun yang punya sanak saudara masih keturunan orang T***l (nama salah satu daerah), dilarang mandi atau beraktifitas disekitar bantaran sungai.
Saya tak tau apakah berkaitan dengan cerita ini atau tidak.
Tapi mungkin, sosok orang asing yang pernah datang ke istana itu, masih tetap berada disekitar bantaran sungai, dan sering mencari korban yang berasal dari daerahnya untuk diberikan pada penguasa bantaran sungai itu sebagai pengganti tumbal yang pernah ditolak.
Sebenarnya, ada banyak cerita yang terjadi disekitar bantaran sungai itu yang bisa diceritakan.
Tapi, ada hal yang membuat saya mungkin tak bisa melanjutkan thread yang berkaitan dengan bantaran sungai itu.