Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya.
Lanjut cerita sebelumnya, ada kejadian janggal karena kasus kehilangan barang, tapi sebenarnya barang itu tak seberapa harganya, ko ilang, penasaran kelanjutannya? Yuk lanjut ke cerita hantu bersambung ini.
Cerita Hantu Bersambung: Petaka di Cemara Timur
Ilustrasi (majalahparanormal.com)
Setelah semua barang dipindahkan, waktunya pamit kepada ibu kos. Empat tahun kulalui di tempat yang penuh keceriaan ini. Kini, saatnya memulai hari baru di pelosok desa. Aku memang sedang membutuhkan kesunyian karena ada beberapa buku yang harus ditulis.
Tibalah hari pertama tinggal di rumah baru. Sudah 6 kali aku ke sini, tapi bangku-bangku keramik berwarna hijau itu masih membuatku heran. Dari kejauhan, bangku-bangku itu lebih mirip deretan batu nisan. Apa sih yang dipikirkan warga saat membuatnya?
Rasa penasaran juga yang membuatku melangkah mendekatinya. Waktu itu, sore masih malu-malu. Mentari belum mau tenggelam. Aku berjalan lebih jauh, melintasi bangku, dan tiba di sebuah patung kuda berwarna putih.
Namun, bukan patung itu yang membuatku terhenti. Di balik hutan, ada rumah dengan halaman yang luar biasa luas.
Rumahnya tinggi dan besar, mirip istana. Dua mobil berderet di depannya. Di sudut lain, ada kandang sapi, kambing, dan kuda. Aku tidak menyangka ada rumah semewah ini di tengah perkampungan yang begitu sederhana. Yang paling ganjil, semua temboknya dicat hijau.
Matahari tiba-tiba meredup dengan cepat. Aku buru-buru kembali ke arah perumahan. Sampai di rumah, aku mencuci, menata perabotan, menyapu, dan mengepel.
Tak terasa, jam dinding menunjukkan pukul 9 malam. Setelah perjalanan jauh dan seharian bekerja, aku tak kuasa menahan kantuk hingga akhirnya tertidur di ruang tamu.
Semuanya baik-baik saja sampai tiba-tiba tubuhku terasa kaku. Dadaku berat, seperti ada yang menindih. Kucoba sekuat mungkin untuk membuka mata, tapi tidak bisa.
Namun dalam tidur itu aku memikirkan satu cara lagi, yaitu berdoa. Kubaca doa dalam hati berkali-kali. Tak lama, aku berhasil membuka mata. Bersamaan dengan itu, bagian belakang leher sampai punggungku merinding. Lalu semua terasa ringan. Rasanya seperti ada yang mencengkeram kuat-kuat, lalu melepasnya.
Aku segera minum dan duduk terdiam di ruang tamu. Di halaman, bunyi keresek-keresek terdengar lirih. Ah, paling tikus, pikirku menenangkan diri.
Karena semalam tidak tidur nyenyak, aku bangun kesiangan. Kejadian ketindihan semalam kuabaikan begitu saja. Namanya juga tinggal di rumah baru, harus beradaptasi dulu, menyamakan frekuensi.
Agenda hari ini adalah membetulkan penutup pagar dan berkeliling perumahan. Penutup pagar itu sudah terlepas sebagian, mungkin karena angin ribut. Aku pun mencari cable ties untuk mengikatnya.
Ternyata, persediaan cable ties-ku tinggal 5 utas. Padahal, aku butuh lebih banyak. Maka kutinggalkan kelimanya berjajar di atas meja. Aku berkeliling saja dulu, siapa tahu ada toko bangunan di dekat sini.
Waktu itu hari Minggu, tapi tidak banyak warga yang beraktivitas di luar rumah. Berjalan sekitar 100 meter, ada warung sembako. Sayangnya ibu pemilik warumg tidak menjual cable ties. Aku pun hanya membeli camilan dan berbasa-basi.
.
"Rumah ijo gede itu punya siapa, Bu? Pak RT, bukan?" tanyaku. Reaksi yang kudapat tak terduga. Si ibu yang sedari tadi bersikap hangat tiba-tiba tergagap. "Bu..bukan, Mas. Pak RT di belakang sini," ujarnya. Ia pun buru-buru pamit ke dalam rumah. Mau memasak, katanya.
Rumah Pak RT sederhana saja, sama seperti rumahku. Namanya juga perumahan. Orangnya juga sederhana dan ramah. Ia memuji kedatanganku untuk melapor. Menurutnya, tak banyak warga yang mau berinisiatif untuk bersosialisasi. Bahkan, bayar iuran pun tidak lancar.