Pada 2006 lalu, status planet terjauh dalam tata surya kita, Pluto, diubah statusnya oleh International Astronomical Union (IAU). Dalam perubahan status itu, IAU menggunakan tiga kriteria untuk sebuah planet.
Pertama, planet harus cukup besar agar gravitasinya dapat menarik dirinya ke dalam keseimbangan hidrostatik. Gravitasilah yang akan membentuk planet menjadi lonjong ketika berputar, dan bulat ketika berhenti berputar. Kemudian, kedua, planet harus mengorbit pada matahari. Ketiga, planet harus memiliki orbit yang jelas tanpa penghilang apa pun di dalam orbit.
Namun kini, semua itu dibalik kembali semenjak seorang peneliti dari Badan Antariksa AS (NASA) menulis opininya tentang pengklasifikasian kembali Pluto sebagai planet. Para ilmuwan ini ingin mengubah Pluto kembali menjadi planet.
Ilmuwan tersebut adalah Alan Stern, seorang penyelidik NASA New Horizons, dan koleganya David Grinspoon, seorang ahli astrobiologi dari Planetary Science Institute.
Pluto dapat kembali statusnya menjadi planet karena Pluto memiliki gunung es, gletser nitrogen, langit biru, bahkan awan. Tuntutan pengubahan status Pluto juga membawa dua badan perantariksaan ini merasa perlu untuk meredefinisi klasifikasi planet.
Definisi mengenai klasifikasi ini merujuk pada kasus beberapa bulan dari beberapa planet lebih besar dari diameter planet. Misalnya, bulan Saturnus yang jauh lebih besar dari planet Merkurius.
Kedua ilmuwan itu percaya bahwa planet harus dibulatkan oleh gravitasinya sendiri. Sementara benda-benda angkasa lain sebenarnya juga punya gravitasinya sendiri, namun lebih kecil untuk membulatkan diri.