Kulihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11 lewat. Aku sedikit terkejut, padahal rasanya sudah begitu lama aku tidur di dalam tenda.
Biasanya aku selalu bangun lewat pukul 1 malam. Aneh. Kulihat Logi pun masih asyik tidur di sebelahku. Aku pun memutuskan untuk keluar tenda dan bergabung dengan Pak Witan dan Mardian.
Mereka membicarakan tentang masa muda Pak Witan saat beliau berburu babi di hutan seberang sawah, hebatnya lagi beliau berhasil membunuh babi hutan jantan hanya dengan menggunakan sebilah golok tanpa bantuan anjing seekor pun. Itu benar-benar patut untuk di acungi jempol. Luar biasa.
Jam sudah menunjukkan pukul 20:06 malam, langit mulai terlihat gelap, bintang-gemintang perlahan redup tertutup awan hitam. Sepertinya hujan akan segera turun. Ini adalah bulan Desember, bulan dimana musim hujan biasa turun.
Pak Witan dan Mardian berjaga duluan, sementara aku dan Logi mengambil posisi untuk beristirahat. Tidak lama setelah itu, hujan pun mulai turun mengguyur tanah.
Waktu terus berlalu, hujan semakin lebat di luar. Sepertinya hal tersebut tidak menyurutkan semangat Pak Witan dan Mardian di luar yang duduk berjaga-jaga di bawah atap plastik. Mereka terdengar masih asyik ngoceh dan bercerita mengenang masalalu.
Seperti pada malam-malam sebelumnya, udara di malam hari masih tetap terasa dua kali lipat lebih dingin daripada di rumah kakek.
Mendengar suara hujan yang jatuh membuat rasa kantukku ini datang dengan begitu cepat, hingga aku pun tertidur pulas di dalam selimut.
Beberapa jam telah berlalu, tiba-tiba aku terbangun dari tidur. Ku lihat keluar tenda api masih menyala di bawah atap plastik, dan Pak Witan dan Mardian pun juga masih bertahan di posisi yang sama. Mereka masih asyik bercerita.