Sebelum keluar dari Lorong tangga tersebut, kami membiarkan si hitam terlebih dahulu untuk memantau situasi. Karena si hitam jauh lebih berani dari pada kami semua yang pada saat itu merasa takut.
Pak Witan takut karena beliau baru saja sudah menyaksikan langsung makhluk yang telah aku ceritakan kepada beliau dulu. Dan begitu juga dengan aku sendiri. Maka karena itulah kami berdua menjadi takut. Namun kami tidak tahu dengan Mardian, karena dia belum pernah melihat makhluk itu secara langsung. Dan dia hanya mengenalinya dari ceritaku dan juga cerita Pak Witan. Akan tetapi, walaupun belum bertemu langsung, sepertinya kali ini Mardian juga merasakan hal yang sama sebagaimana yang kami rasakan.
Kembali pada cerita.
Ilustrasi (oppobaca.news)
Si hitam telah sampai di luar. Dan kini dia sudah mulai berjalan pelan ke arah kiri, sedangkan kami baru hendak keluar mengikutinya.
Setibanya di ruangan baru tersebut, kami bertiga serentak menoleh kiri kanan untuk melihat situasi sekaligus mencari arah jalan yang hendak kami tuju. Ternyata yempat itu bukan ruangan, akan tetapi itu adalah sebuah lorong panjang yang lebarnya sekitar 4 meter. Dan pada saat itu pula, dengan tidak sengaja cahaya senterku ini menyorot ke lantai sebelah kiri. Aku sedikit kaget, ternyata si hitam sedang sibuk memperhatikan sesuatu di lantai. Di lantai tersebut ada sebuah benda panjang seukuran satu setengah lengan. Dan benda itu adalah senapan.
"Hey lihat itu, itu adalah senjata Logi yang jatuh!" Telunjukku langsung ter-acung ke benda tersebut. Pak Witan dan Mardian pun langsung menoleh. Setelah itu, aku langsung mengambil benda tersebut yang pada saat itu tergeletak di lantai.
"Hey, lihat! Ini darah Logi! Begitu kataku setengah panik.
Gagang senapan itu sedikit di lumuri oleh darah merah yang masih segar. Aku langsung menoleh kembali ke belakang untuk memeriksanya. Dan benar, kami semua menemukan ada bekas-bekas darah yang menetes di lantai.
"Apapun yang terjadi, kita harus membawa Logi keluar dari sini dengan selamat" Begitu kataku pada Pak Witan dan Mardian. Dan mereka berdua-pun serentak mengangguk. Sepertinya mereka sudah terlihat sedikit mendapatkan kekuatan mengenai kejadian tersebut. Begitupun denganku.
Bagaimana tidak? Kawan kami telah dibawa oleh makhluk tersebut entah kemana, dan kami pun juga tidak tahu, apakah teman kami itu masih hidup dan ataukah sudah tewas? Itulah yang membuat kami menjadi sedikit berani untuk melawan makhluk tersebut.
Aku bertanya kepada Mardian mengenai cara menggunakan senjata tersebut, dan dia pun bersedia mengajarkanku. Namun setelah diajarkan olehnya, aku malah lebih memilih untuk menyerahkan senjata tersebut kepada Pak Witan, karena mungkin beliau lebih paham dan mungkin saja beliau sudah pernah menggunakannya. Dan benar, ternyata beliau sudah pernah menggunakan senjata tersebut setiap kali beliau pergi berburu.
Kamipun mulai berjalan menyusuri lorong gelap tersebut dengan menggunakan cahaya senter. Pak Witan bahkan juga menyalakan obornya.
Jejak-jejak tetesan darah masih terlihat kental di lantai. Jika itu memang darah Logi, pasti dia sudah begitu banyak kehilangan darah. Dan jika sedikit saja kami terlambat, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan tewas. Semoga saja itu tidak akan terjadi. Begitulah doaku dalam hati.