Halo gengs, kali ini Paragram.id bakalan nyeritain gimana curhatan seseorang yang ikutan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Penari. Belakangan ceritanya lagi hits banget di media sosial, di Twitter misalnya. Berikut curhatannya.
Sebelumnya, penulis tidak mendapat izin untuk memposting cerita ini dari yang punya cerita. Karena si mpunya cerita memiliki ketakutan sendiri pada beberapa hal, yang meliputi kampus, dan desa tempat KKN diadakan.
Tetapi, karena penulis berpikir bahwa cerita ini memiliki banyak pelajaran yang mungkin bisa dipetik terlepas dari pengalaman sang pemilik cerita akhimya, kami sepakat bahwa semua yang berhubungan dengan cerita ini, meliputi nama kampus, fakultas, desa dan latar cerita, akan sangat dirahasiakan.
Jadi buat teman-teman yang membaca cerita ini, yang mungkin tahu, atau merasa familiar dengan beberapa tempat yang meski disamarkan ini, dimohon untuk tidak memberi penjelasan apa pun. Sebaiknya sih merahasiakan semuanya, karena ini sudah menjadi janji penulis dan pemilik cerita.
Tahun 2009 akhir, semua mahasiswa angkatan 2005-2006 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang dilakukan di beberapa desa. KKN itu kan sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi.
Dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri. Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya. Ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunannya.
"Aku wes oleh nggon KKN se," (aku sudah dapat tempat untuk KKN) katanya di ujung telepon.
Wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap.
"Nang ndi?" (di mana?)
"Nang kota B, gok deso kabupaten K******* , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN," (di kota B, di sebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk dikerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita)
Saat itu juga, Widya segera mengajukan proposal KKN.
Semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok. Minimal harus melibatkan fakultas berbeda dengan anggota minimal 6 orang.
"Tenang," kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.
Benar saja, tidak beberapa lama, muncul Bima dan Nur. Ia menyampaikan kelengkapan anggota orang yang melibatkan fakultas sudah disetujui.
"Sopo sing gabung, Nur?" (Siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu, "Temenku. Kating, angkatan di atas kita, satunya lagi temannya." Lega sudah, batin Widya.
Surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan di adakan kurang lebih sekitar minggu. Jadi, hanya tinggal menunggu pembekalan sebelum keberangkatan.
Jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orang tuanya tentang agenda KKN yang wajib ditempuhnya. Ketika orang tua Widya bertanya ke mana projek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut ibunya.
"Gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B," (Apa nggak ada tempat lain, kenapa harus kola B).
Wajah ibunya menegang. "Nggon kunu nggone alas tok, ra umum dinggoni gawe menungso," (Di sana tempatnya bukannya hutan semua, tidak bagus ditinggali oleh manusia).
Namun, setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi, wajah ibunya melunak.
"Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok diundur setahun maneh?" (Perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa diundur satu tahun lagi?).
Widya enggan melakukannya, maka meski berat, kedua orang tuanya pun terpaksa menyetujuinya.
Di hari pembekalan sebelum keberangkatan, Widya, Ayu, Bima, dan Nur melihat ke sekeliling. Mereka khawatir orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya. Sampai menjelang siang, mereka muncul, menyapa, dan memperkenalkan dirinya di depan mereka. Wahyu dan Anton.
Setelah basa-basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat.
"Numpak opo dik kene?" (Naik apa kita nanti?) kata Wahyu.
"Elf mas," jawab Nur.
"Sampe desane numpak Elf, dik?" (Sampai desanya naik mobil Elf, dik?)
"Mboten mas. Berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput" (Tidak mas. Berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput) sahut Nur.
Mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu, "Yu, desone ra isok diliwati mobil, to?" (Yu, apa desanya gak bisa dimasuki mobil?)
Ayu hanya menggelengkan kepala. "Ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan," (gak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, .45 menit kemungkinan) kata Ayu.
Di sinilah cerita ini di mulai ....
Sesuai apa yang Nur katakan. Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari Kota S, tanpa terasa hari sudah mulai petang, di tambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai di sana, gerimis mulai turun. Lengkap sudah.
Setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari jauh, cahaya mendekat, Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar. Rupanya, yang mengantar adalah lelaki paruh baya, dengan motor butut.
"Cuk. sepedaan tah," kata Wahyu spontan.
Saat itu ada yang aneh, entah disengaja atau tidak, ucapan yang dianggap biasa di kota S ditanggapi lain oleh laki-laki itu. Wajahnya tampak tidak suka dan sinis tajam melihat Wahyu. Hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu hanya Widya seorang. Apa pun itu, semoga bukan hal yang buruk.
Di tengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun membuat Widya berpikir kembali.
Sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan. Khawatir bahwa yang dimaksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai.
Di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga di sana pendiam semua. Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat.
Kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.
Ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.
Suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, membaur menjadi alunan suara gamelan.
Apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini. Dan ketika sayup sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka.
Sampailah mereka di Desa White, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
"Monggo," (permisi) kata lelaki itu. Sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.
"Mrene rek," teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria. Wajahnya tenang dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedan tadi.
"Kenalno, Niki, Pak Prabu. kepala desanya. Koncone masku. Pak Prabu, Niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan" (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari kota, yang rencananya mau KKN).
Pak Prabu memperkenalkan diri bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah, Pak Prabu menjawab.
"Pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok," (pelosok bagaimana maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit).
Tatapan bingung Widya disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.
"Mbak'e paling pegel wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal," (Mbaknya mungkin capek, jadi, mari tak antar ke tempat nanti kalian tinggal).
Di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "Maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? Garai sungkan ae!" (Maksudnya gimana sih Wid, kok kamu tanya seperti itu? Bikin saya sungkan saja kamu!)
Di situ, Widya menyadari, ada yang salah ....
Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah diubah sedemikian rupa. Meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (ranjang tidur) beralasakan tikar.
Sedangkan, untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga.
Di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.
Nur, lebih memilih untuk diam.
"ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?" (gini, kamu dengar apa tidak, di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan?)
"yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)
Berbeda dengan Ayu, Nur, menatap Widya dengan ngeri.
Sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. "Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek" (Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk)
Mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.
"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu," (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong hal yang gak masuk akal begini).
Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.
Nah ceritanya dilanjutkan di part selanjutnya ya gengs. Sampai jumpa lagi di page selanjutnya ya gengs. Selamat berpenasaran ria~