Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.
Aku tahu Pak Wongso tidak mungkin mau diajak mengobrol baik-baik di ruang tamu. Tapi sangat penting mengajak orang yang sedang marah untuk duduk. Jadi aku menyelonong ke pos satpam, lalu mengambil dua kursi, satu untukku dan satu untuknya.
.
"Buat apa sih, Pak?" kataku memulai pembicaraan.
.
"Buat apa bersusah-payah menunjukkan kesaktian? Saya, Pak Satpam, semua warga desa dan perumahan tahu betul bahwa Bapaklah orang terkuat di sini, bahkan mungkin di kabupaten ini. Tapi saya nggak yakin Bapak punya nyali sebesar kami."
.
Sebelum dia sempat bereaksi, aku nyerocos lagi.
.
"Coba lihat warga desa. Penghasilan mereka per bulan tidak lebih dari biaya makan kuda Bapak seminggu. Lalu pengontrak rumah saya, Bu Rahmi, cuma buruh cuci serabutan. Tapi mereka semua nggak gentar waktu mendengar bunyi berisik token listriknya atau bunyi keroncongan perutnya. Orang-orang ini mungkin takut mati, tapi mereka nggak pernah takut hidup. Apakah Bapak punya nyali sebesar itu?
Saya juga tahu Bapak ini manusia super, bisa menumbangkan pohon tanpa disentuh. Tapi sekuat apa hati Bapak? Dua kali saya muntah-muntah sepulang dari sini. Tapi nggak sekalipun saya berpikir itu gara-gara orang lain. Coba kalau Pak Wongso yang ngalami, pasti udah kalang-kabut mikir ada yang nyantet.
Kalau saya sakit, ya itu pasti konsekuensi perbuatan saya sendiri. Kalaupun memang karena orang lain, jangan sampai orang itu tahu kalau dia sedang menyakiti saya. Karena pasti cuma dua kemungkinannya, entah dia jadi sombong atau jadi sedih. Dan saya nggak mau dua-duanya terjadi.
Sudahlah, silakan Pak Wongso mau berpikir apa atau ngobrak-abrik apa lagi. Saya mohon pamit. Tolong beri tahu kalau ada kabar dari Pak Basit."
.
Aku pun beranjak dari kursi, mengangguk kepada Pak Satpam, dan meninggalkan Pak Wongso yang duduk termenung di kursinya.
Sampai di area bangku hijau di tengah hutan, aku mendengar suara bisik-bisik yang ramai. Rasanya seperti sedang dipandangi banyak orang. Padahal tak ada siapa-siapa di situ.
Suara bisik-bisik yang ramai itu terus berdengung di telingaku, bahkan ketika aku sudah sampai di Jakarta. Aku tidak yakin apakah itu cuma memori atau memang sedang ada yang berbisik. Jadi, kuabaikan saja, kuanggap itu ingatan yang berbunyi terlalu kencang.
Hari itu tak ada "serangan" baru lagi. Teman kosku sampai bertanya berkali-kali, "Masih mual, Bro? Ada serangga-serangga lagi?"
.
Namun, sejauh ini semuanya aman-aman saja. Sesuatu terjadi justru ketika aku sedang bekerja di luar kantor. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal terpampang di layarnya.
.
"Halo, Mas yang punya rumah di Cemara Timur, ya?" kata suara di baliknya.
.
"Ya, ini siapa, ya?"
.
"Saya satpam di rumah Pak Wongso. Ini Pak Wongso mau ngomong, Mas."
Wah, aku cukup terkejut. Dari mana dia tahu nomorku? Ada perlu apa lagi meneleponku? Belum sempat menjawab, suara lain muncul di baliknya.