Membayangkan peninggalan peradaban di masa lalu kita secara langsung akan merujuk bangunan-bangunan besar seperti candi atau prasasti. Di sini contohnya Borobudur atau Prambanan.
Peninggalan ini memberikan kesan kemegahan dari sebuah peradaban meskipun terbukti tak dapat bertahan lama. Ya nyatanya kita cuma menemukan petilasan, alih-alih masyarakat yang benar-benar masih berdenyut hidup.
Nah bagaimana dengan peradaban yang sekarang kita jalani. Apa yang akan kita tinggalkan untuk mereka di masa yang akan datang. Sejauh pengamatan di sekitar sih cuma ada satu yang bakal kita wariskan, yakni sampah.
Bagaimanapun untuk membangun peradaban, masayarakat pasti mengkonsumsi sesuatu sebagai sumber tenaganya. Dan sampah sendiri merupakan sisa-sisa pola konsumsi tersebut.
Memang pada zaman dulu masyarakat juga membuang sampah, kalau mau adil. Tetapi karena sampah mereka bersifat organik, maka semua sisanya kembali ke Bumi. Baru sekitar tahun 60an, kita mengenal sampah plastik yang menjadi sumber masalah sekarang dan nanti.
Sampah plastik sangat lama untuk kembali terurai menjadi materi yang mengotori Bumi. Kalau memang tidak bisa dibilang sebagai materi yang tak bisa hancur. Kita setiap hari hanya menimbun sisa pola konsumsi ini hingga akhirnya mencemari lingkungan.
Sampah Plastik Dunia
Data tahun 2017 menunjukan bahwa volume sampah plastik di seluruh dunia mencapai 200 juta ton per tahun. Angka ini selalu merangkak naik tidak peduli sudah banyak kampanye lingkungan untuknya.
Plastik yang tak terurai bisa terpecah-pecah menjadi mikroplastik yang mengancam banyak spesies di lautan. Dan 80 juta metrik ton sampah plastik ini berupa plastik polietilena. Jenis plastik yang kerap digunakan sehari-hari.
Namun secercah harapan mulai muncul dari riset yang dilakukan oleh peneliti asal Spanyol. Mereka menemukan cara sedikit tak sengaja untuk mengurangi sampah plastik domestik tersebut.
Menghabiskan Sampah Plastik
Seorang pakar biologi evolusi di Institute of Biomedicine and Biotechnology di Cantabria bernama Federica Bertocchini memiliki hobi beternak lebah.
Namun hobinya ini kerap diganggu oleh hama kupu-kupu lilin (Galleria mellonella) yang bertelur di dalam sarang lebah. Larvanya hidup 6 minggu di dalam sarang lebah sebagai hama, sebelum menetas jadi kupu-kupu.
Bertocchini kerap membersihkan sarang lebah dan mengumpulkan ulat/larva tersebut ke dalam kantong plastik polietilena. Namun ia tak menyangka bahwa dalam waktu singkat, ratusan ulat memakan kantong plastik tersebut dan membuat banyak lubang.
Para peternak lebah, pemilik reptil, hingga yang punya hobi mancing sebenarnya sudah lama mengenal fenomena ini. Tetapi hal ini hanya menjadi obrolan di dunia maya saja.
Mengetahui hal ini, para peneliti di Spanyol lantas membuat ujicoba. Mereka meletakkan 100 ekor ulat kupu-kupu lilin tersebut di dalam sebuah kantong plastik berbobot 300 gram. Dan hasilnya selama 12 jam ulat-ulat ini berhasil memakan plastik polietilena seberat 92 gram.
Catatan ini terhitung sangat cepat, mengingat bakteri pengurai plastik bisa berbulan-bulan melakukan hal ini. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah ulat tersebut benar-benar memakan plastik dan mengeluarkannya lagi sebagai kotoran yang berbahaya?
Penelitian lebih lanjut harus dilakukan oleh Federica bersama tim. Mereka menduga ada sejenis enzym khusus di ulat kupu-kupu lilin yang berfungsi mengurai plastik jenis polietilena tersebut.
Jika mereka bisa menemukan, enzym ini dapat diproduksi secara masal melalui rekayasa laboratorium yang selanjutnya menjadi salah satu solusi pembersih sampah plastik di bumi.