Pada tahun 1889 pemerintah Inggris memutuskan bahwa sebuah koloni, yang enam tahun kemudian disebut Rhodesia, akan diperintah oleh British South Africa Company.
Banyak gejolak dan pemberontakan yang terjadi saat masa awal pemerintahan. Kebanyakan yang kena dampak serius adalah pemukiman kulit putih. Banyak permukiman besar, seperti Bulawayo, dikepung oleh pasukan Ndebele atau Shona.
Rhodesia Mengganti Namanya Menjadi Zimbabwe
Rhodesia Mengganti Namanya Menjadi Zimbabwe (vox.com)
Pada akhir Mei 1896, pengepungan Bulawayo dihentikan oleh pasukan kolonial dari Kimberley dan Mafikeng di Afrika Selatan saat ini. Meskipun pengepungan berakhir, perang dengan Ndebele berlanjut hingga Juli 1896. Pemimpin Shona melanjutkan pemberontakan hingga tahun 1898 semua pemimpin pemberontakan telah ditangkap atau diasingkan.
Rhodesia didirikan sebagai koloni pemukim dengan gaya Australia atau Kanada. Pemerintah kolonial bergantung pada aliansi dengan para pemimpin Afrika lokal untuk secara efektif memerintah wilayah itu dan untuk menghentikan pemberontakan.
Tapi tetap saja, kesenjangan antara ras kulit putih dan kkulit hitam tetaplah jauh. Berbagai sistem yang digunakan memungkinkan otoritas kolonial untuk mengecualikan penduduk Afrika dari pemerintahan langsung dan menjauhkan mereka dari kekuasaan sipil.
Kesenjangan dan perampasan hak orang kulit hitam semain banyak terjadi. Hingga ke perampasan tanah milik kulit hitam. Kisah ini adalah perjuangan panjang hingga akhirnya Rhodesia mengganti namanya menjadi Zimbabwe.
Pada tahun 1922 populasi pemukim Rhodesia Selatan memilih untuk menjadi koloni yang diperintah langsung oleh Kerajaan Inggris daripada dimasukkan ke dalam Uni Afrika Selatan. Sebelum Rhodesia mengganti namanya menjadi Zimbabwe.
Ini mendorong pembentukan Koloni Rhodesia Selatan pada Agustus 1923. Koloni itu akan lebih dekat terikat dengan Kerajaan Inggris dan akan secara aktif berpartisipasi di pihak Inggris dalam Perang Dunia II.
Pada tahun 1953, untuk tujuan geopolitik dan logistik, tiga koloni Nyasaland, Rhodesia Utara, dan Rhodesia Selatan digabung menjadi satu federasi. Orang-orang Afrika dan perwakilan politik Afrika di tiga koloni menolak federasi, tetapi sepenuhnya diabaikan.
Setelah beberapa dekade negosiasi, federasi menjadi nyata pada 3 September 1953.
Berbagai gerakan politik Afrika untuk pembebasan nasional menjadi masalah di federasi. Di Rhodesia Selatan, Asosiasi Suara Afrika (Suara), Serikat Pekerja Industri dan Komersial Reformasi (RICU) dan Kongres Nasional Afrika Selatan Rhodesian (SRANC) semuanya sangat menentang federasi.
Rhodesia mengganti namanya menjadi Zimbabwe. Untuk memulai perjuangan melawan federasi, mereka mengorganisasi Kongres Seluruh Afrika untuk memobilisasi oposisi. Robert Mugabe, yang waktu itu seorang guru sekolah dan anggota Kongres Nasional Afrika (ANC), mengecam federasi sebagai instrumen untuk menekan penentuan nasib sendiri.
Pada akhir 1950-an berbagai gerakan untuk pembebasan nasional di Nyasaland (Malawi) dan Rhodesia Utara (Zambia) mendapatkan momentum. Organisasi seperti Kongres Nasional Afrika Zambia (ZANC) dilarang dan pemimpin mereka Kenneth Kaunda ditangkap.
Di Rhodesia Selatan pada tahun 1957, SRANC bergabung dengan Liga Pemuda Afrika, dan memilih Joshua Nkomo sebagai pemimpin baru mereka. Kemerdekaan Ghana pada tahun 1957 menjadi inspirasi bagi gerakan pembebasan lainnya di benua itu.