Kondisinya ternyasa dilematis. Ketergantungan orang Tionghoa di bidang perdagangan terjadi karena mereka dilarang memiliki lahan pertanian atau menjadi pegawai pemerintah. Maka, tak ada pilihan lain selain berdagang dan berdagang.
Sejarawan Heather Sutherland menjelaskan dalam bukunya bahwa hal ini terjadi lantaran orang Tionghoa tidak punya kesempatan masuk ke dalam pemerintahan. Pegawai pemerintah kala itu hanya diisi orang-orang Eropa dan segilintir orang dari kalangan Bumi Putera.
Meski begitu, perdagangan benar-benar membawa orang-orang Tionghoa menjadi sukses. Larangan politis membuat mereka lebih banyak untung dari sektor perdagangan. Kondisi ini terus berlangsung, bahkan ketika Jepang menduduki Indonesia.
Saat itu, Jepang juga membentuk organisasi bagi penduduk Tionghoa peranakan bernama Hua Chiao Tsung Hui (HCTH). Organisasi itu didirikan untuk mengawasi kegiatan ekonomi dan politik mereka. Organisasi ini juga menjadi salah satu kekuatan Jepang dalam bidang ekonomi untuk memberikan Jepang dana perang.
HCTH diberi wewenang untuk mengumpulkan berlian, penjualan lotre, dan kemudahan izin berdagang.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, struktur sosial masyarakat berbalik drastis. Perekonomian yang dulu banyak dikendalikan etnis Tionghoa perlahan bergeser. Etnis Tionghoa mulai terkucilkan. Banyak Bumi Putera yang mengambil alih usaha perdagangan orang Tionghoa yang sudah mapan. Usaha itu bahkan diklaim sebagai hak milik.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Indonesia sendiri masih harus berhadapan dengan Agresi Militer Belanda. Di situlah beberapa pedagang Tionghoa sempat mengambil keuntungan dengan cara menjual senjata selundupan dan bahan pangan untuk membantu Indonesia.
Jadi, memang jauh dari stigma soal 'cuan', itulah alasan kenapa banyak orang China datang ke Indonesia sejak dulu. Rata-rata karena mereka ingin berdagang dengan berbekal pengalaman mereka di tanah leluhur sebelumnya.
Etnis Tionghoa juga turut membantu memajukan Indonesia dalam sektor perdagangan dan perekonomian sejak dulu.