Orang Hakkian berbakat dalam berdagang; orang Hakka adalah ahli di bidang kerajinan kayu dan emas; orang Tiociu terkenal sebagai ahli perkebunan atau pengrajin perak serta timah. Mereka yang datang dalam beberapa gelombang dan menetap di Nusantara kala itu melahirkan banyak keturunan lewat kawin campur atau kawin sesama etnis.
Lebih jauh, pembukaan lahan perkebunan dan timah oleh pemerintah Hindia-Belanda saat itu mendorong banyak orang China datang ke Indonesia. Itu terjadi antara tahun 1860-1890 solam. Akhirnya semakin banyak orang China yang tinggal di wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Hindia-Belanda sendiri memberikan pelonggaran izin. Hal itu membuat gelombang-gelombang imigran China terus berdatangan ke wilayah Indonesia.
Pada pertengahan abad ke-19, jumlah imigran asal China sudah mencapai seperempat juta orang. Jumlah ini bahkan terus bertambah tahun 1930-an, ketika setengah juta etnis Tionghoa pindah ke Hindia-Belanda. Orang-orang China itu pun tinggal berkelompok dalam satu wilayah yang disebut 'Pecinan'. Kawasan itu berada di bawah kontrol Hindia-Belanda.
Agar lebih mudah dipantau dan diatur, pemerintah Hindia-Belanda mengangkat seorang kapten untuk memimpin etnis Tionghoa. Pemilihannya didasari atas kepopuleran dan kekayaan si kandidat. Selain itu, didirikan pula berbagai organisasi Tionghoa yang diguanakan untuk mengakomodir segala kebutuhan mereka.
Pembentukan kamar dagang Tionghoa juga didirikan tak lama setelah itu. Hal ini bertujuan untuk mempermudah kegiatan berdagang orang-orang Tionghoa kala itu. Sejarawan Ong Hok Ham pernah menulis artikel terkait hal ini dan menjelaskan bahwa para pedagang Tionghoa diberi kewenangan mengumpulkan pajak dari komunitasnya sendiri.
Mereka diizinkan untuk memonopoli garam, membuka usaha pegadaian, hingga perdagangan candu. Kedudukan ini menempatkan etnis Tionghoa sebagai perpanjangan tangan dan perantara ekonomi bagi pemerintah Hindia-Belanda dan Bumi Putera. Di balik itu, kondisi ini teryata membuat kalangan pedagang Tionghoa bergantung pada pemerintah Hindia-Belanda.
Para pedangan Tionghoa berharap bisa terus menduduki banyak wilayah di Nusantara yang mereka nilai menguntungkan dalam sektor bisnis. Tetapi, sikap itu dikritik keras oleh orang-orang Tionghoa yang bukan pedagang.