"Iya, berarti lelaki itu telah melakukan kekerasan, setidaknya kekerasan psikis pada pasangannya. Seharusnya perempuannya ditanya apakah ia dalam posisi sadar dan nyaman semacam itu," jelasnya.
Dalam general rekomendasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), perempuan harus diperlakukan secara adil dan setara dalam perkawinan.
Tak boleh ada perempuan yang berada dalam situasi terpaksa. Dan agama pun mengajarkan hal itu juga. Jadi, pernikahan seharusnya perlu persetujuan bebas tanpa tekanan dari pihak manapun.
Apabila istri bersedia dipoligami, maka hal tersebut perlu digali lebih dalam lagi, apakah ‘mau’ ini murni karena persetujuan dari pihak wanita atau karena adanya paksaan, tekanan sosial atau faktor lainnya.
"Bisa jadi ia menerima karena menjaga nama baik keluarga, menjaga nama baik masyarakatnya, yang sesungguhnya ia tidak menginginkannya. Jadi relasi kuasa dan relasi gender yang timpang sering kali menjadikan perempuan harus menerima apa yang ia tidak kehendaki demi menjaga kepentingan orang lain itu," ujarnya.
Menurut Imam, kedua istri Korik tersebut berada dalam posisi terpaksa. Padahal, setiap orang pastinya menginginkan kondisi pernikahan yang ideal (satu pasangan).
"Jika ia (mau) dipoligami, maka penting dilihat dalam situasi kondisi seperti apa ia. Perempuan itu sering kali rela mengorbankan dirinya demi menjaga moralitas keluarga, apalagi disertai dalil dalil agama. Jadi saya melihat hakikatnya tidak ada perempuan yang rela hatinya dipoligami," ungkap Imam.