Kulihat jam sudah menunjukkan hampir pukul 6 pagi. Namun sampai pada detik ini kami belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Logi. Bahkan Mardian sampai menawarkan diri untuk keluar dari ruangan tersebut demi mencari bantuan kepada penduduk setempat. Namun itu adalah sebuah ide yang sangat berbahaya menurut kami, karena kami sudah tidak tahu lagi dimanakah jalan keluar dari bangunan tersebut. Karena kami sudah terlalu jauh berjalan entah kemana.
Si hitam sudah semakin jauh dan hampir tak terlihat lagi. Aku kemudian memanggilnya untuk kembali, namun percuma. Si hitam sudah menghilang dari pandangan kami entah kemana.
"Aku duluan ya! Kataku seraya berlari ke arah depan untuk mencari si hitam.
Pak Witan dan Mardian juga sedikit mempercepat laju kakinya untuk menyusulku.
"HUuuu...
"HHuuu..
Begitulah caraku berteriak memanggil anjing kakekku. Namun dia tidak menyahutinya. Ini benar-benar aneh sekali, biasanya sekali saja ku panggil si hitam langsung berlari ke arahku, namun ini sudah 8 kali ku panggil akan tetapi dia belum juga muncul untuk menampakkan dirinya.
Aku terus berlari dengan oborku yang mulai mengecil. Jarakku dan Pak Witan mungkin sudah terpaut sekitar 50 meter lebih.
"HHuuu...
"HHuuu..
Itu adalah panggilanku yang ke sembilan kalinya. Namun lagi-lagi percuma. Sepertinya si hitam benar-benar sudah menghilang dan luput dari jangkauan kamu. Akupun memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi lorong sembari menunggu Pak Witan dan Mardian tiba.
Mereka cukup jauh di belakang, jarak kami mungkin sudah terpaut sekitar 200 meter lebih. Pak Witan dan Mardian nampak berlari untuk mempercepat langkah mereka. Sementara aku duduk menunggu sambil menyingkirkan keringat.
Pada saat yang bersamaan pula, tiba-tiba aku mendengar ada suara gonggongan si hitam. Suaranya terdengar pelan sekali, sepertinya suara tersebut berasal dari tempat yang jauh. Entah dimana.
Aku tidak bisa mendengarnya lebih jelas, karena suara tersebut sedikit terhalang oleh suara pijakan kaki Pak Witan dan Mardian yang sedang berlari ke arahku. Dan kini, merekapun sudah tiba di dekatku.
"Coba dengar! Aku berkata setengah berisik dengan tatapan horor. Pak Witan dan Mardian terdiam sejenak menahan nafas untuk menyelidik.
Suara itu kembali terdengar, dan kali ini sedikit lebih jelas dari pada sebelumnya.
"Di depan sana, ayok! Pak Witan langsung bergerak, begitupun dengan kami.
"HHuuu... Hhuuu..."
Aku kembali memanggil si hitam. Anehnya suara itu malah menghilang dan lenyap.
Kami terus berjalan ke arah depan sembari memasang telinga dan mata penuh waspada.
"Huuuaaaaccrrrhhhh...
"Huuuwaaccrrhhh...
Suara auman tersebut mendadak menghentak jangtung kami, terdengar nyaring dan menyeramkan. Aku bahkan hampir tidak bisa lagi menggerakkan kakiku untuk berjalan. Begitupun dengan Mardian. Mental kami benar-benar sudah tergoncang hebat. Namun sepertinya Pak Witan masih bertahan penuh waspada.
"Persiapkan senjatamu, Mardian" Pak Witan berbisik pelan, menandakan situasi ini sudah berada pada tingkat bahaya dan darurat.
Mardian mengangguk pelan dan kembali mengumpulkan serpihan keberaniannya yang sempat hancur. Dan kini dia sudah kembali seperti semula.
"Keluarkan golokmu, Rai" Mardian mengingatkanku. Aku langsung mengeluarkannya.
Kami terus berjalan pelan. Berhati-hati dan hampir tak terdengar. Cara jalan kami sudah macam para para prajurit yang sedang menjalankan misi rahasia.
Hening, senyap. Tidak ada yang terdengar selain dari pada suara jantungku yang berdetak. Aku belum pernah setegang ini seumur hidupku.
"BBUUUUWWHHHH...!
Suara itu muncul dari arah belakangku. Aku bahkan sampai melompat lari terkejut. Mardian dan Pak Witan juga tidak kalah kagetnya. Pak Witan bahkan mendadak jadi orang latah yang menjerit kaget. Mardian seperti orang yang kesetrum.
Melihat gaya dan ekspresi kaget mereka sebenarnya membuat tawaku hampir meledak, namun sepertinya itu bukanlah waktu yang tepat untuk tertawa.
"Suara apa itu? Tanya Mardian dengan nada panik.
Aku tidak menjawabnya, aku masih sibuk menoleh kebelakang dengan senterku untuk mencari tahu.
"Mungkin itu adalah suara jembatan yang runtuh" Begitu kata Pak Witan memecah kebingungan kami.
"Haah! Nanti kita pulang gimana? Mardian memekik dengan nada panik
"Kita cari aja jalan lain" Pak Witan berkata santai, seolah tak peduli dengan kejadian tersebut. Beliau kembali berjalan ke arah depan. Dan kamipun segera menyusul beliau.
Mardian tampak masih kesal dan khawatir mengenai kejadian tersebut. Namun aku segera menenangkannya. Kamipun melanjutkan perjalanan.
Pada waktu itu, mendadak ada suara si hitam yang menyalak di depan. Suara itu terdengar pelan sekali. Kami terus mengikutinya penuh selidik. Kami mempercepat langkah agar tidak lagi kehilangan jejak.