Cerita Horor Bahasa Indonesia: Kisah Lahan Angker Mencari Tuan di Bekasi Part 6 (Final)

Cerita Horor Bahasa Indonesia: Kisah Lahan Angker Mencari Tuan di Bekasi Part 6 (Final)

ali ini ada sebuah cerita horor bahasa indonesia yang nyeremin gengs. Katanya sih di daerah Bekasi sana.

Cerita ini berasal dari akun Facebook yang bernama @SatanismeTheSecret. Tanpa babibu langsung aja kita simak bareng yuk gimana menyeramkannya cerita ini.

  • Cerita Horor Bahasa Indonesia: Kisah Lahan Angker Mencari Tuan di Bekasi Part 5

Pintu kontrakan salah satu warga itu terbuka. Dia mempersilahkan gue masuk. Namanya Joko. Joko Segera menutup pintu rumahnya. Joko memasang sebuah tulisan di belakang pintu dengan kalimat yang diambil dari Alquran. Eh si Udin kok gak ikut masuk?

Ilustrasi (liputanhidup.com)

Lupakan Udin. Nih, minum air ini, ya. Kalau ada yang masuk di badan kamu pasti muntah, kata Joko.

Gue nurut walaupun masih bertanya-tanya kenapa Udin gak masuk. Mungkin dia mau keliling lagi. Entahlah.

Joko ini kayaknya seumuran gue. Dari namanya gue udah tahu kalau dia orang Jawa. Btw, gue gak muntah jadi gue bersih.

Dari kebon yang itu, ya? Bawa apa? Ayam cemani? Amis darahnya sampai sini, kata Joko lagi. Gue cuma bengong gak ngerti harus ngapain. Malam ini terlalu aneh buat gue. Gue gak bisa ngomong.

Joko mengajak gue ambil wudhu, gue nurut aja sama dia. Setelah itu gue sedikit lega.

Kalau sudah tenang. Biar saya cerita, ucap Joko. Gue ngangguk.

Pertama-tama, Joko menyebutkan jika Gusnudin sudah tiada dan yang nganter gue ke tempat Joko adalah jiwanya. WTF! Gue langsung motong pembicaraan kalau Udin pernah gue jumpai sebulan lalu. Iya itu masih belum almarhum. Ngontraknya di belakang saya, tuh. Mau lihat? Joko menawarkan ke gue. Gue menggeleng cepat. Pantesan tangannya dingin.

Menurut info dari Joko, Udin meninggal karena kena guna-guna seseorang. Gue sempat mikir ke Pak Dudung atau Haji A. Tapi Joko menggeleng dan melarang gue untuk buruk sangka ke orang lain. Intinya yang tadi menyelamatkan gue karena jiwanya Udin gak terima kalau gue kenapa-napa. Ya Allah baik banget si Udin. Semoga tenang jiwanya.

Udin sempat cerita sama saya kalau ada yang mau beli lahan itu dan orangnya baik. Gak neko-neko namanya mas J. 

Saya sempat mendoakan mas J supaya memang bisa membongkar tempat itu karena memang hawanya bukan main. Gelap banget. Tapi ternyata mas J juga belum dikehendaki sama Allah SWT untuk memiliki tempat itu. Kalau sudah dikehendaki, Insya Allah tidak ada halangan. Saya dapat wangsit seperti itu dari mimpi, terang Joko.

Joko menyarankan gue mandi sebelum keluar dari rumahnya untuk membersihkan hal-hal yang jahat menempel di badan. Gue nurut aja.

Kelar mandi, Joko memberikan gue seperangkat baju koko dan kain sarung. Dia menyarankan baju yang gue pake sampai dalemannya ditaruh di kantung plastik lalu dibakar. Gue nurut lagi aja.

Sayup, azan subuh pun kedengeran. Joko ngajak gue salat. Gue ikut. Lumayan tenang ketika selesai salat.

Kelar Salat, Joko sudah mulai berani membuka pintu kontrakannya. Memang hawanya tak lagi menakutkan seperti tadi. Sudah berbeda. Sambil membuat kopi, Joko menyarankan agar lahan itu dijual kembali. Gak perlu serakah. Lahan itu memang sedang menunggu pembeli aslinya yang bisa membebaskan jiwa-jiwa orang-orang yang ada di dalamnya. 

Itu bukan sembarang lahan. Siapa orangnya juga sudah disiapkan oleh Tuhan. Tapi bukan mas. Jual lagi saja, semoga yang membeli selanjutnya adalah pilihan Allah untuk keselamatan jiwa-jiwa itu, kata Joko.

Ilustrasi (konfrontasi.com)

Gue penasaran kenapa Joko ngerti sampai sebegitunya sementara dia warga pendatang. Joko mengaku terbiasa berkomunikasi dengan mereka yang tak kasat mata. Jiwa-jiwa di lahan tersebut merupakan tumbal seorang dukun sakti yang tinggal di rumah rusak yang ada di dalam lahan perkebunan. 

Dan bisa ditebak, kuburan itu merupakan kuburan si dukun. Sementara dukun mengkoleksi tumbalnya di dalam sumur. Karenanya tempat itu memang 'penuh' dengan warga astral. Gak ada untungnya memaksakan diri. Kecuali mas memang ingin membangun tempat yang digunakan sebagai sarana ibadah. Mewakafkan tanah itu untuk umat. Beda lagi ceritanya. Arwah-arwah itu juga ingin selamat lewat doa-doa orang soleh, cerita Joko.

Gue pun merenungkan kata-kata Joko. Akhirnya gue memutuskan untuk menjual tanah itu saja tepat pada November 2007. Banyak orang nanya, kenapa gak diwakafin, gue realistis aja. Duit buat beli lahan cukup lumayan kalau gue putar kembali untuk bisnis gue. 

Beli-beli lahan 1.000 meter persegi masih kejangkau, lah. Toh hasil penjualan 2,5 persennya gak pernah absen gue sedekahin. Namun hingga kini, plang papan Tanah Dijual di depan pagar bambu selalu menghilang. Dipasang lagi, menghilang lagi. Entah mengapa.

Cerita horor bahasa Indonesia ini selesai.

Tamat.



Facebook Conversations


"Berita ini adalah kiriman dari pengguna, isi dari berita ini merupakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna"