Dalam sepekan terakhir, banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah daerah di Sumatera memicu kekecewaan besar dari publik. Ribuan warganet bergerak melakukan “investigasi” sendiri untuk mencari penyebab bencana, dan kali ini Google Earth menjadi alat utama mereka.
Media sosial penuh dengan unggahan yang memperlihatkan hilangnya kawasan hutan lindung serta munculnya lubang-lubang tambang ilegal di wilayah yang kini porak-poranda akibat banjir dan longsor. Dengan membandingkan citra satelit dari tahun ke tahun, warganet menunjukkan bagaimana area yang dulu hijau perlahan berubah menjadi lahan gundul atau dipenuhi aktivitas tambang.
Konidis hutan gundul penyebab banjir (detik)
Salah satu unggahan datang dari akun @arie0198 yang menyoroti Batangtoru, lokasi banjir bandang. Ia menunjukkan area yang diduga menjadi lokasi tambang emas dan tampak telah menghabisi hutan di sekitarnya.
Beberapa pengguna lain juga menampilkan perbandingan kondisi wilayah dalam beberapa tahun terakhir. Berikut di antaranya:
“Iseng-iseng lihat dari satelit. Gimana mau nggak banjir bandang, hutannya habis,” tulis @lupispasar sambil membagikan foto area yang terlihat gundul.
“Lagi cek Google Maps daerah yang katanya salah satu penyebab banjir, ternyata makin banyak aja yang muncul begini,” kata @naaa_twisted.
Fenomena viral ini memperlihatkan bagaimana teknologi seperti Google Earth kini menjadi sarana bagi masyarakat untuk menelusuri kerusakan lingkungan. Tapi muncul pertanyaan besar: sampai kapan publik harus mengandalkan citra satelit untuk mengungkap masalah yang seharusnya bisa dicegah sebelum bencana terjadi?
Sebagai informasi, bencana banjir dan longsor di Sumatera masih menyisakan luka mendalam. Menurut data BNPB, sedikitnya 604 orang meninggal dunia, puluhan lainnya masih hilang, dan puluhan ribu warga mengungsi. Kerugian material diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
