Tidak jauh dari rumah Redjo, terdapat makam kuno tempat para sesepuh dan warga Kampung Pitu disemayamkan. Dalam bahasa Jawa halus, Redjo menuturkan bahwa pantangan tujuh KK di Kampung Pitu memang sangat genting.
Aturan utamanya soal tujuh KK dan kepemilikan turun-temurun harus dipatuhi, jika tidak nyawa yang jadi taruhannya. Total dari 7 KK yang menguhuni ada sekira 30 anggota keluarga.
Mitos yang terus dibuktikan dengan kenyataan
Dari keunikan kampung tersebut, tidak heran banyak wisatawan yang ingin melihat langsung lokasinya. Bahkan ada beberapa pula yang kemudian memutuskan tinggal. Warga di Kampung Pitu mengaku tidak pernah melarang bila ada orang yang ingin tinggal tapi harus siap menerima risikonya.
"Kalau ada orang ingin tinggal di sini silahkan saja, nggak ada yang ngelarang. Cuma sudah diperingatkan, nggak semua orang kuat tinggal di sini," ujar Redjo.
Dirinya mengingat suatu hari di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX ada satu kyai yang tiba-tiba datang dan bersikukuh ingin tinggal di sana, hingga akhirnya meninggal tanpa sebab. Kejadian tersebut beberapa kali terjadi hingga tidak ada yang berani lagi mencoba.
"Pak Kyai beralasan ini tanah negara jadi bebas ditinggali. Dia mau jadi keluarga ke-8, saya peringatkan kalau itu melanggar adat, dia ngeyel. akhirnya belum selesai bangun rumah, tiba-tiba saja dia meninggal nggak tahu sebabnya," kenangnya.
Menurut Redjo, pantangan itu didasari hukum alam bahwa jumlah semesta itu ada tujuh. Dirinya percaya bahwa desanya adalah papan pancer alias pusat semesta, maka dari itu keseimbangan harus dijaga. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan orang luar untuk tinggal di Kampung Pitu adalah dengan menikahi warga sana.
Dilarang Menyelenggarakan Pertunjukan Wayang
Selain terkait jumlah keluarga yang harus menempati, ada juga pantangan lain yang masih dipercaya oleh masyarakat Kampung Pitu hingga saat ini. Warga Kampung Pitu dilarang menyelenggarakan pertunjukan wayang, apalagi dengan lakon Raden Ongko Wijaya.
Semasa kecil, Redjo melihat sendiri salah satu warga digorok oleh 'pelaku misterius' ketika kepala desanya menggelar wayangan untuk memeringati ulang tahun.
"Kalau punya niat macam-macam, apalagi sampai melanggar pantangan, nggak akan pulang dengan selamat. Tubuhnya mungkin pulang, tapi nyawanya entah kemana," tandas Redjo lagi.
Ekosistem Kampung Pitu yang tetap terjaga
Kampung Pitu sendiri sebenarnya bukan benar-benar kampung, ia adalah bagian kecil dari desa. Rumah-rumah di sana berdiri berjauhan, ini karena topografi tanah yang tidak rata dan juga batas kepemilikan tanah yang luas.
Rumah-rumah disana hampir semua berbentuk limasan Jawa, namun beberapa sudah lebih modern. Warga Kampung Pitu menjalankan syariat islam dengan sinkretisme ajaran Jawa. Di samping rumah, terdapat kandang kambing dan sapi, mereka tidak pernah kekurangan makan.
Dengan adanya peraturan adat, secara teknis membuat ekosistem di Kampung Pitu terjaga. Satu keluarga di Kampung Pitu rata-rata punya tanah seluas 1 hektare, secara keseluruhan lebih banyak tanaman ketimbang bangunan buatan manusia.
Kampung Pitu juga bebas dari risiko polusi udara dan suara karena mata pencarian warganya adalah bertani dan berkebun sehingga udara di Kampung Pitu sejuk dan tanahnya subur. Selama ini, penambahan dan pengurangan KK dalam trah Iro Kromo berlangsung secara organik.
"Seperti sudah diatur. Kalau anaknya banyak, biasanya cuma 1-2 yang tinggal di sini. Kalau ada yang ingin daftar KK sendiri, biasanya ada aja yang tiba-tiba meninggal. Selalu begitu dari dulu, otomatis," jelasnya.
Dalino, salah satu warga Kampung Pitu yang menetap setelah menikah dengan salah satu trah keluarga Iro Kromo, tak mau banyak berkomentar tentang aspek mistis desa yang ia tinggali. Soal pantangan tujuh KK pun, ia lebih memilih alasan yang lebih logis.
"Mungkin dari dulu tujuh itu karena akses ke sini memang susah, apalagi kalau hujan jalanan ke bawah itu jadi lumpur semua. Pas saya pindah ke sini masih zaman larangan pangan, panen cuma sekali setahun, itupun diganggu sama hama kera, secara ekonomis susah," terang Dalino.
Memang, mitos yang melingkupi Kampung Pitu sulit dijelaskan secara rasional, tapi dampak terhadap ekosistem lingkungan bisa dirasakan oleh warganya sendiri. Karena itu, Redjo sebagai juru kunci masih punya tugas untuk tetap menjaga jalannya tradisi di puncak gunung Nglanggeran tersebut.
"Sayang juga ya, tanahnya luas dan sejuk tapi nggak bisa ditinggali orang lain. Tapi memang harus begitu, harus patuh sama alam," pungkas Redjo.
Gimana menurutmu, gengs?