Sungkeman merupakan salah satu tradisi yang ada di Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Sungkeman biasanya dilakukan sebagai tanda permohonan maaf kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan.
Dalam tradisi adat Jawa, sungkem punya tujuan sebagai lambang penghormatan dan permintan maaf atau 'nyuwun ngapura'. Tapi bagaimana sebenarnya sejarah dan awal mula tradisi sungkeman Lebaran ini?
Dikutip dari buku tulisan Arif Yosodipuro berjudul Buku Pintar Khatib dan Khotbah, budayawan Dr. Uman Khayam menyebut tradisi sungkeman merupakan hasil akulturasi atau perpaduan budaya antara Jawa dan Islam.
Adapun pada proses permintaan maaf atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah 'nyuwun ngapura'. Di mana, kata 'ngapura' ini sendiri berasal dari serapan bahasa Arab, yakni 'ghafura' yang berarti pengampunan.
Sementara untuk sejarah sungkeman, Jamal Ghofir dan Mohammad Abdul Jabbar dari Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban dalam jurnal 'Tradisi Sungkeman sebagai Kearifan Lokal dalam Membangun Budaya Islam', menjelaskan bahwa tradisi sungkeman sudah ditemukan pada era Mangkunegara I.
Pemimpin yang juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa ini memerintah kadipaten Mangkunegaran periode 1757 - 1795. Ketika itu di momen Idul Fitri, ada pertemuan yang diadakan untuk sungkem atau saling memaafkan.