Beberapa tahun lalu, dr. Tirta megungkapkan kalo sang ibu sempat terkena kanker hingga rahimnya pun diangkat. Karena dr. Tirta menjadi anak tunggal, ayahnya ingin Tirta Hudhi memiliki keyakinan yang sama dengan ibunya. Tujuannya agar sang ibu tidak sendirian.
Tapi, dr. Tirta mengaku bila sejak kecil hingga kuliah, dia adalah seorang atheis. Yap, tidak beragama dan tidak percaya dengan Tuhan.
"Selama aku dari lahir sampai aku usia SMA, sampai kuliah di UGM, awal-awal aku atheis. Karena aku tidak, bukan, ya benar-benar seperti anggap itu logika sajalah" katanya.
Dokter yang sempat menjadi atheis ini juga sering berkunjung ke masjid dan gereja. Sejak kecil, Tirta juga sering belajar mengaji (TPA) di masjid. Dia juga ikut sekolah Minggu di gereja.
"Aku ke gereja dan kadang aku ke masjid. Jadi, aku tuh berpiir jika ke gereja masuk surga dan ke masjid masuk surga, kalau saya jalani kedua-duanya, tiket saya lebih banyak," katanya.
"Aku dari SD tuh pasti ke TPA ke masjid situ, tetapi hari minggu aku juga belajar Sekolah Minggu," lanjutnya.
Dari pelajaran agama yang berbeda yang dia dapatkan, dr. Tirta jadi lebih mengenal konsep toleransi. Dia mengaku sangat paham dengan arti toleransi. Sebab, dia mengenal banyak orang dari kecil.
Dokter nyentrik ini emang cerdas sih. Doi pernah diterima di tiga univeritas ternama di Indonesia. Akhirnya, Tirta Hudhi pun memilih masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dari situ, dr. Tirta pun semakin banyak mengenal komunitas-komunitas agama di kampusnya.
Dia mengaku sering berdiskusi atau sekadar ngobrol-ngobrol santai dengan berbagai komunitas tersebut.
"Aku lebih sering ngobrol sama mereka, dan aku memutuskan untuk jadi mualaf itu ketika tahun 2011-2012," ungkapnya. Saat itu, dia sedang Koas dan sudah bergelar sarjana kedokteran.
Dokter lulusan UGM ini juga mengaku tidak sempat mengenyam pendidikan agama Islam saat masih kuliah. Saat berkuliah, dia masih menjadi seorang Katholik. Dia bahkan menjadi Ketua mahasiswa Katholik di UGM.