Suporter Sepakbola
source: chroniclelive.co.uk
Sesekali datanglah menonton pertandingan di stadion sepakbola. Pertama anda akan melihat ratusan bahkan ribuan orang mengenakan seragam tim atau yang sering disebut jersey. Namun jika anda teliti, maka akan nampak beberapa orang mengenakan pakaian dengan brand-brand mahal seperti Lacoste, Adidas, Fila, hingga Stone Island. Mereka ini yang mendaku diri sebagai suporter tim bergaya casual culture
Meski berdandang kasual dengan brand-brand ternama, sejarah casual culture tak sesederhana penampilannya. Subkultur suporter ini dimulai di Inggris pada akhir tahun 1970-an. Saat itu sepakbola di Inggris masih sering terganggu oleh kekerasan yang disebabkan oleh para suporter sepakbola, atau disebut hooligan dan hooliganisme. Polisi memburu para pembuat rusuh ini.
Para hooligan lantas mengganti dandanan mereka. Alih-alih mengenakan jersey tim yang mereka dukung, mereka mulai mengenakan pakaian kasual dengan merek-merek ternama. Tujuannya adalah untuk mengelabui polisi yang menjaga ketertiban.
Kejayaan Liverpool dan Everton di kancah sepakbola Eropa tahun 1980-an sedikit banyak mempengaruhi subkultur kasual ini. Alasannya para hooligan ketika membikir rusuh di negara lain, seringnya juga menjarah toko pakaian yang ada. Sehingga ketika kembali ke Inggris, mereka membawa pakaian langka karya desainer ternama seperti Lacoste, Sergio Tacchini, Fila, bahkan Adidas.
Karena stigma kekerasan dalam casaual culture, cara berpakaian ini sempat meredup. Namun kembali bergairah pada pertengahan tahun 1990-an. Alih-alih untuk menghindari pantauan polisi, para suporter di masa itu memilih salah satu brand pakaian kasual sebagai identitas mereka. Muncul beberapa kelompok suporter yang mengenakan pakaian kasual seragam. Merek yang dipakai antara lain Stone Island, Aquascutum, Burberry, Lacoste, Prada, Façonnable, Hugo Boss, Maharishi, Mandarina Duck dan Dupe.
Meski begitu asosiasi kekerasan tetap melekat pada pakaian kasual suporter sepakbola. Namun kali ini lebih mudah diidentifikasi oleh polisi karena keseragaman brand. Kondisi ini membuat karakter casual culture sedikit bergeser dan berkembang. Hingga saat ini masih banyak yang mengenakan pakaian kasual dengan penekanan gaya dan kemewahan. Muncul istilah 'casual snobery', yaitu mereka yang bendandan kasual untuk sekedar pamer harga jaket dan merasa keren.