Ini Alasan Mengapa Kasus Pengaturan Skor Sepak Bola Indonesia Masih Berlaku

Ini Alasan Mengapa Kasus Pengaturan Skor Sepak Bola Indonesia Masih Berlaku
Alasan mengapa kasus pengaturan skor di Indonesia masih terus terjadi (via kompas.com)

"Karena diberi celah untuk masuk. Pengaturan skor itu seperti narkoba. Candu. Ada peluang sedikit, maka para pencandu akan mengulanginya," ujar Akmal kepada Kompas.com, Kamis (4/11/2021).

Apalagi, kata Akmal, kalau ternyata "diizinkan" oleh pemilik rumah, dalam hal ini federasi sepak bola Indonesia, PSSI. 

Menurutnya, diizinkan di sini dalam artian PSSI mengetahui adanya kasus pengaturan skor tersebut dan bersikap seakan tak peduli.

Alasan mengapa kasus pengaturan skor di Indonesia masih terus terjadi (via cnn.com)

Akmal juga mengatakan bahwa kasus seperti ini bisa terjadi karena adanya motif utama yakni uang.

"Match fixing bukan bagaimana timnya menang, tapi juga bagaimana timnya kalah. Tergantung pesanannya apa. Ujung-ujungnya uang, wani piro?," ungkap dia.

"Kalau ada cara mudah dapat duit, kenapa cari yang susah? Ini sudah bicara moralitas. Dan, karena selama ini tidak ada penanganan yang tegas akhirnya dianggap dibolehkan," imbuhnya

Lantas, bagaimana cara memeranginya? 

Menurut Akmal, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan negara Victoria, dimana Kepolisian Australia memiliki unit khusus untuk menangani kasus pengaturan skor, bernama Sport Integrity Intelligence Unit.

Lalu di La Liga, Spanyol, mereka juga memiliki badan khusus dari kepolisian bernama Operasi Oikos untuk mengawal kompetisi antar mafia. Dan ada pula di Korea Selatan, yang memiliki sentra pelaporan di bawah Kementerian Olah Raga bernama The Sports Corruption Reporting Center.

 "Olahraga kita butuh densus anti match fixing. Sambil DPR juga menyiapkan perangkat hukum agar pelaku kejahatan pengaturan skor mendapatkan hukuman berat karena jenisnya setara korupsi dan pembunuhan," kata Akmal.

"Kita kan baru bergerak kalau kasusnya ketahuan. Hukumannya pun serampangan. Hanya pemain. Tidak dilakukan pengusutan, penyelidikan, dan penyidikan secara mendalam untuk menemukan aktor intelektualnya. 

“Kasus Perserang misalnya, jangan sampai putus di lima pemain. Mereka hanya wayang. Yang harus dikejar siapa dalangnya," sambung dia.



Facebook Conversations


"Berita ini adalah kiriman dari pengguna, isi dari berita ini merupakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna"