Setelah bom atom berhasil meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki serta menewaskan ratusan ribu jiwa 73 silam, para ilmuwan berhasil menemukan kadar radiasi dari bom atom yang diderita korban.
Penelitian yang dilakukan untuk pertama kalinya ini menggnakan jaringan dari tulang rahang jasad korban. Lewat teknik yang didesain khusus untuk menguak fakta ini, para ahli dapat menentukan penanggalan fosil dan artefak arkeologi.
Teknik itu disebut sebagai spin resonance spectroscopy guna mengukur secara retrospektif dosis radiasi pada korban yang terpapar bom atom.
Penelitian ini menemukan dosis tinggi radiasi dalam fragmen tulang rahang korban bom atom, sekitar 9,46 grays (Gy). Profesor Oswaldo Baffa dari University of Sao Paulo mengatakan setengah dari dosis itu, sekitar 5 Gy saja, berakibat fatal bagi tubuh manusia. Dalam dosis setengahnya saja, tulang manusia secara magnetis menjadi lebih lemah.
Pengukuran ini sejalan dengan studi yang sebelumnya telah memperkirakan dugaan serupa. Penelitian sebelumnya menggunakan sampel non-biologis seperti fragmen gentang dan bata yang diambil dari lokasi ledakan bom atom Hiroshima. Sedangkan sampel biologis diperoleh dari DNA korban yang selamat.
Inilah yang sebetulnya disesalkan oleh Theodore van Kirk yang mengemudikan pesawat pengembom Enola Gay untuk menjatuhkan bom atom yang diberi nama Little Boy ke Hiroshima. Pagi itu adalah Senin, 6 Agustus 1945, tepat pada pukul 08.15.
Ledakan di pagi hari tahun 1945 itu menewaskan ribuan murid dan ratusan guru, bahkan ratusan ribu jiwa lainnya tewas seketika. Begitu pula yang terjadi di Nagasaki beberapa hari setelahnya.