Sekitar awal 90an, cerita seram tentang hantu di pekuburan Jeruk Purut santer beredar di Jakarta. Konon, ada hantu kepala buntung berkeliaran di pekuburan itu. Si hantu yang berpakaian seperti pastor berkeliling pemakaman itu sambil menenteng kepalanya sendiri. Ia mencari jalan pulang ke makamnya.
Bukan. Bukan hantu itu yang saya temui di sana. Mahluk yang saya temui bukan mencari jalan pulang. Ia ingin balas dendam. Begini ceritanya.
Cerita hantu lokal dimulai
Hantu Jeruk Purut (youtube.com)
Seperti kebanyakan anak muda, saya dan empat kawan, ingin mencari sensasi seru. Setelah mendengar cerita hantu Jeruk Purut, kami segera susun rencana membuktikan tidak ada sosok seperti itu di dunia ini. Caranya, dengan mengikuti syarat yang diceritakan orang-orang.
"Harus datang ke pekuburannya di tengah malam Jumat dengan jumlah orang ganjil," kata Putra menirukan cerita yang didengar dari kawannya .
Atas nama kesetiakawanan dan kegagahan, saya iyakan ajakan mereka untuk ke pekuburan itu di tengah malam Jumat. Rasanya bakal seru dan aman-aman saja. Ternyata perkiraan saya salah...
"Cuma bisa sampai sini, nih, mobilnya. Kita jalan ke dalam," kata Putra.
Kami berempat berpandangan tak yakin. Waktu sudah cukup larut, gelap pekat, dingin, dan sejujurnya saya lumayan takut.
"Ahhh, penakut amat, sih! Ngapain juga ikutan kalau enggak ke dalam?" ketus Putra.
Alhasil kami berlima turun dan mulai menyusuri pemakaman. Sekitar 10-15 menit berjalan kaki, Putra mulai mengeluh.
"Haaah, nggak asyik. Cuma gini aja, nih? Mana, tuh, pastur kepala buntung? Takut kali sama kita. Kuntilanak, kek, minimal. Genderuwo, kek... Haaaah, udah, balik ajalah!" kata dia sambil menginjak-injak kuburan yang dilewati.
Kami pulang dan menginap di rumah Putra dan tidur di lantai kamarnya. Tengah malam ia mengigau dan terbangun berteriak. Katanya mimpi buruk. Di pagi harinya suhu tubuh Putra sangat panas. Ia terpaksa tak masuk sekolah. Bahkan sampai hari Selasa kami masih belum lihat Putra di sekolah.
"Put, lu kenapa nggak masuk lama banget?" tanya saya sebelum pelajaran dimulai.
"Demam," jawabnya lemah, sambil menatap lantai.
"Masuk angin kali, ya, waktu itu? Udah sembuh lu?" tanya saya lagi.
Dia diam sambil terus menatap lantai tanpa berkedip.
"Put? Lu nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya saya serius.
"Gue nggak bisa hilangin bayangan wajah di mimpi gue. Dari malam Jumat itu, mimpi gue masih sama," kata dia.
"Mimpi apaan?" saya mulai heran.
"Laki-laki. Tinggi. Hitam. Lehernya ada bekas sayatan dalam," kata dia.
"Ah... Lu mah. Masih soal hantu Jeruk Purut ya? Tauk ah..." kata saya seraya pergi meninggalkannya.
Hingga sepekan sejak kejadian itu Putra masih bertingkah aneh. Tak lagi berisik seperti biasanya. Banyak diam dan menatap nanar. Kulitnya juga pucat dengan area mata menghitam.
Di kantin, saat kami duduk berseberangan, ia bahkan sempat menunjukkan 'kemampuan' baru. Ia menggerakkan gelas tanpa menyentuhnya sama sekali. Katanya, itu belum seberapa.
Lama-lama makin terasa ada yang aneh dengan Putra. Ia juga sering marah-marah tak jelas.
"Ada yang aneh sama Putra, ya?" kata Pak Andi, guru olahraga, pada saya di sisi lapangan sambil menatap Putra dari kejauhan.
"Aneh bagaimana, Pak?" tanya saya berlagak tak tahu.
"Saya rasa dia nggak seperti Putra yang kita kenal. Coba ajak dia ke kampus saya nanti malam sekitar jam delapan," kata Pak Andi.
Setelah mengobrol dengan kawan-kawan saya baru tahu Pak Andi memang mendalami urusan spiritual. Saya dan teman-teman sepakat mengantar Putra ke kampus tempat Pak Andi belajar. Lokasinya di pusat Jakarta.
Makin dekat kampus itu, Putra yang kami ajak tanpa bilang alasan sebenarnya, mulai bertingkah. Ia mulai menggedor-gedor pintu mobil, katanya ingin keluar. Kami coba tenangkan dengan bilang ada latihan tambahan oleh Pak Andi. Ia tenang sebentar, meski napasnya tetap memburu.
Kami menunggu sekitar 10 menit di lapangan basket. Pak Andi datang dengan dua orang temannya. Ia menyuruh kami memegangi tangan Putra sementara ia mengucapkan kalimat-kalimat yang tak tahu bahasa apa.
Putra berontak dan bicara dengan suara berat yang aneh. "Mau apaaaaa?" katanya.
"Kamu siapa, mau apa ke sini?" tanya Pak Andi.
"Saya nggak terima! Saya nggak terima! Saya nggak terima!" begitu terus yang keluar dari mulut Putra.
"Nggak terima apa? Kenapa kamu diam di dalam badan Putra?" tanya Pak Andi.
"Dia nggak sopan! Dia nggak sopan!" ucap Putra sambil berontak sampai kami kewalahan memegangi tangannya.
"Kamu mau keluar sendiri atau mau kami paksa keluar?" tanya Pak Andi lagi.
Putra menggeram sambil terus memberontak dan bergumam aneh. Tak lama, Pak Andi menyuruh dua temannya memukul Putra.
Setelah menerima pukulan bertubi-tubi, Putra tiba-tiba lunglai dan muntah-muntah. Pak Andi minta kami berdoa sambil mengelilingi Putra. Tiba-tiba Putra berdiri, mendatangi Pak Andi, berbisik. Lalu jatuh dan pingsan.