Golkar di masa itu adalah gabungan dari kurang lebih 200 organisasi pendukung Orde Baru. Golkar bahkan tidak termasuk dalam sembilan Parpol Indonesia, namun kemudian diaggap menjadi satu partai politik.
Di era itu, Golkar tercatat memenangkan 227 kursi di DPR. Sedangkan NU mendapat 58 kursi, Parmusi 24 Kursi, dan PNI 20 kursi. Sisa kursinya kemudian direbut oleh Parkindo, Partai Katolik, dan Murba.
# Alasan Hanya Ada 3 Parpol
Usai Pemilu 1971, Soeharto menganggap bahwa tidak perlu ada terlalu banyak partai di Indonesia. Alasannya, karena konstituante tahun 1955-1959 gagal. Karena ada banyak Parpol, keputusan malah sulit diambil karena seluruh Parpol malah sibuk ngotot dan berdebat.
Soeharto kemudian memanggil para ketua Parpol untuk menjelaskan pendapatnya. Soeharto punya anggapan bahwa sebuah partai politik harus memiliki sisi material dan spiritual yang seimbang. Kalau memakai istilah zaman sekarang ya berarti, Parpol harus Nasionalis Religius.
Dalam biografi Soeharto berjudul "Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya" karya Ramadhan KH dan G Dwipayana, Soeharto mengungkapkan, "Dengan demikian maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok saja dari sembilan partai, ditambah satu kelompok dari Golongan Karya. Tetapi tanpa dipaksa."
Pengelompokan Parpol itu kira-kira jadinya seperti ini:
1. PDI, gabungan dari PNI, IPKI, dan Partai Katolik.
2. PPP, gabungan dari NU, PSII, Parmusi, dan Perti.
3. Golkar, gabungan dari kurang lebih 200 organisasi pendukung Orde Baru.
Soeharto juga menekankan bahwa jangan ada Parpol yang hanya menonjolkan agamanya. Itulah mengapa partai partai Islam tersebut dijadikan satu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan program spiritual-materil.
Itulah mengapa di DPR kemudian terbentuk 3 fraksi: Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia.