Dari penelitiannya itu, dia menulis buku berjudul "Religion of Java". Buku itu kemudian mengungkap alasan kenapa banyak orang Jawa tidak memiliki nama keluarga.
Geertz mengungkap bahwa umumnya orang Jawa tidak memiliki nama keluarga hingga dekade 1960-an. Tapi ada pengecualian bagi kalangan ningrat.
Menurutnya, orang-orang Jawa dari kelas Abangan seringkali menamai anaknya berdasarkan hari atau neptu kelahirannya. Seperti Rebo, Senen, Pon, Kliwon, dan seterusnya.
Besar dugaan bahwa nama yang cukup singkat ini agar lebih praktis dan mudah diingat. Terutama saat sebuah keluarga atau individu melakukan ritual 'selametan'. Bisa juga untuk perhitungan hari baik untuk hajatan lainnya.
Orang-orang Jawa dari kalangan pesantren cenderung memiliki nama yang lebih islami. Misalnya Ahmad atau Rahmat. Sementara orang-orang Jawa dari kalangan priyayi cenderung memiliki nama-nama yang berbeda dan terlihat lebih berpendidikan seperti Joko atau Bambang.
Di balik itu, orang Jawa ternyata nggak begitu memikirkan soal nama anak. Menurut orang Jawa, nama bisa diganti saat diperlukan. Misalnya ketika sakit atau mengalami perubahan status sosial. Nama seseorang pun bisa diganti agar lebih baik.
Sementara untuk keluarga dari kalangan ningrat, nama keluarga memang bisa menjadi semacam penanda bahwa mereka berasal dari golongan yang harus dihormati. Karena itu, nama orang Jawa terlihat unik dan memiliki ciri khas yang sangt kental dengan budaya Jawa.