Alien Curhatan Soal Hari Kiamat

Alien Curhatan Soal Hari Kiamat

Ini adalah sebuah cerita ranah inter Galaxy yang jarang didapat, bersumber dari Voxpop.id, kita simak curhatan Alien soal kiamat.

Ketika masih SD, saya amat sering pulang terlambat dari sekolah. Ibu, yang biasanya sudah menunggu sambil berkacak pinggang di muka pintu, percaya pada intuisinya kalau saya kelayapan bermain ding-dong di gang pasar, yang memang benar.

Namun, saya membantahnya dan memberi satu alasan yang membuatnya tak lagi marah, melainkan murka: saya disandera alien.

Alien (Hoops.id)

Tak butuh kecerdasan minimum untuk tahu bahwa saya berbohong. Ia tahu saya tak pernah sungguh tahu apa itu alien, kecuali dari sablonan wajahnya yang tercetak pada kolor favorit saya.

Membual disandera oleh makhluk yang hanya saya ketahui bentuk wajahnya, dan membualkannya kepada seseorang yang cukup tua untuk tahu bahwa tak ada alien yang bertangan delapan, seperti yang saya omongkan, adalah sebentuk tindakan dungu.

Namun, pengalaman malam itu mengubah segalanya. Saya benar-benar disandera alien. Awalnya, saya tak menyangka bahwa ia adalah alien. Ia tak datang menumpang piring terbang, lalu menyedot masuk korbannya seperti di film-film.

Ia datang selayaknya tamu yang mengerti tata krama: mengetuk pintu dan mengucap salam, lalu menodongkan pistol perak ketika pintu saya buka, sembari meminta maaf atas semua ketidaknyamanan yang ia ciptakan.

Untunglah, ibu sedang mengikuti pengajian di desa tetangga, sehingga tak tahu kalau anaknya betul-betul dijadikan sandera alien di rumahnya sendiri. Ia duduk di ruang tamu, memakai helm teropong meski tak mengendarai motor, dan memegang pistol. Sedangkan saya di sisi seberang, dicekam ketakutan akan kematian.

“Es teh,” gerungnya. “Bikinkan aku es teh. Tanpa gula, tolong.”

Itu kesempatan yang baik untuk meminta bantuan, sebenarnya, andai ia tak mengikuti saya ke dapur sambil terus menodongkan pistol.

Di situlah ia membuka helmnya, menampakkan kepala seukuran bola tenis yang nyaris tenggelam ditelan tubuhnya yang gempal. Tak saya dapati matanya, tetapi dua sulur sepanjang tiga kaki tumbuh dari kepala itu, bergerak ke sana kemari seolah sedang melakukan penginderaan.

“Tak usah kembali ke depan. Kita ngobrol di sini saja, tolong,” katanya, sambil terus menyendoki garam dalam toples  dan memamahnya seperti biskuit lebaran.

Ia duduk bersandar pada lemari makan, sedangkan saya bersila di samping tabung elpiji. Ia berkata bahwa ia kepingin curhat, tetapi tak menemukan manusia yang tepat untuk dijadikan pendengar. Hingga ia melihat saya sedang mengobrol akrab dengan burung derkuku tempo hari.

Ia tahu bahwa saya bisa mengobrol dengan binatang. Ia bahkan juga tahu kalau saya ini bekas penerjemah margasatwa, yang bisa dibilang cukup berkompeten meski memiliki akhir karir yang tragis. Sejak itulah ia menguntit saya, menunggu kesempatan yang baik untuk bertemu yang tak kunjung datang.

Hingga akhirnya tibalah malam itu. “Aku datang dari planet yang jauh,” katanya. “Aku seorang petualang antar-galaksi,” lanjutnya, yang kemudian memutuskan mengunjungi bumi atas undangan seseorang dari Indonesia.

Orang itu mengabarkan bahwa bumi sebentar lagi kiamat, dan oleh sebab itu meminta bantuan alien untuk mengangkut umatnya keluar dari bumi. “Aku diminta mendaratkan pesawatku di Monas, dan aku tak perlu merisaukan izin apa pun. Orang itu sudah menyurati presiden.”



Facebook Conversations


"Berita ini adalah kiriman dari pengguna, isi dari berita ini merupakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna"