Selama masa penjajahan dulu, ada ribuan catatan sejarah yang dimiliki kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dirampas Eropa. Sedikitnya, 7.000-an naskah kuno milik Keraton Yogyakarta pun ikut dirampas pula.
Bertepatan dengan peringatan 30 tahun tahta Sultan Hamengku Buwono X sejak 7 Maret 1989, beberapa manuskrip itu kembali. Setidaknya 75 manuskrip kuno yang sempat dirampas itu dikembalikan oleh pihak British Library kepada Keraton Yogyakarta.
Hal ini sejalan dengan upaya-upaya Sultan Yogyakarta membawa pulang naskah-naskah tersebut selama satu dekade terakhir. Meski begitu, jumlah tersebut tentu masih jauh dari yang seharusnya. Namun, pihak Keraton menyambut bahagia pulangnya mata rantai yang terputus tersebut semenjak 'Geger Sepehi'.
Dalam situs web resmi Keraton Yogyakarta, GKR Hayu menjelaskan bahwa Keraton adalah pusat kebudayaan yang tidak pernah berhenti memproduksi maupun mereproduksi ilmu pengetahuan. Namun, ada mata rantai yang terputus saat peristiwa 'Geger Sepehi'.
Sejalan dengan itu, seperti dikutip dari Kompas.com, GKR Hayu mengundang para akademisi, praktisi, dan peneliti untuk berdiskusi sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Keraton Yogyakarta.
Seperti yang diungkap GKR Hayu, naskah-naskah kuno itu dirampas setelah peristiwa 'Geger Sepehi' pada 207 tahun silam. Nah, 'Geger Sepehi' sendiri merupakan sebuah peristiwa pada Juni 1812 ketika bala pasukan Inggris menyerang Keraton Yogyakarta yang kembali dikuasai Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Setahun sebelumnya, pasukan Inggris telah mengalahkan pemerintahan Belanda di Batavia dan merebut kekuasaan wilayah Jawa. Gubernur Jenderal Inggris di Kalkuta, Lord Minto, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa.
Era transisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Sultan HB II untuk kembali menguasai Keraton Yogyakarta.
Setelah Raffles menjabat, ia menunjuk John Crawfurd sebagai residen Yogyakarta. Raffles juga membuat kebijakan baru terkait tanah dan pengelolaan uang. Akan tetapi, kebijakan baru ini menurut Sri Sultan HB II sama merugikannya dengan kebijakan Daendels saat Belanda berkuasa.
Akhirnya, Sultan menentang kedatangan Inggris dan merancang perlawanan. Raffles pun melihat itu sebagai ancaman dan mengirim pasukannya untuk menyerang Keraton.
Serangan dan negosiasi awal dari Inggris pun dlakukan, tetapi Sri Sultan HB II bertahan. Kemudian pada 19 Juni 1812, serangan-serangan kecil mulai menggempur Keraton oleh pihak inggris.
Di hari berikutnya, pertempuran besar meletus, terutama setelah tembakan meriam pada dini hari diikuti serangan besar-besaran sejak pukul lima pagi. Pasukan Inggris meliputi tentara Eropa, Spei dari India, serta Legiun Mangkunegaran.
Sisi timur laut benteng Keraton diserang karena titik itu dianggap paling lemah. Dinding sudut benteng akhirnya runtuh, jejak keruntuhannya masih bisa dilihat sampai sekarang. Serangan itu diakhiri dengan jatuhnya Kesultanan Yogyakarta ke tangan Inggris.
Sri Sultan Hamengku Buwono II menyerah seutuhnya setelah pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimangati.
Setelah Sultan HB II menyerah, Inggris mulai menjarah harta benda yang ada di Keraton. Ini sejalan dengan pendapat KRT Widyacandra Ismayaningrat, Carik (sekretaris) KHP Widyabudaya Keraton Yogyakarta.
Menurutnya, di masa lalu ada hukum perang di Eropa yang membolehkan pasukan menjarah negara jajahan bila menang perang.
Akhirnya, naskah-naskah tersebut menjadi sasaran harta benda yang dijarah pasukan Inggris. Tapi, kenapa yang diambil justru naskah-naskah kuno?
Kita lanjut ke ulasan selanjutnya ya gengs.