Ia juga menjadikan bisnisnya itu sebagai bisnis franchise yang tersebar di beberapa daerah. Sayangnya dia melakukan sistem jual putus sehingga semua menu es krim racikannya itu dikembangkan lebih lanjut oleh si pembeli menjadi merek sendiri. "Itu kesalahan saya dulu sebagai pemula di bidang usaha kuliner," ujarnya penuh sesal.
Hingga 2019, total dia memiliki 15 gerai yang tersebar hingga ke Palembang dan Bengkulu. Ketika pandemi Covid-19 meruyak dan aktivitas semua mal dibatasi dan tutup, semua gerai es krimnya pun bangkrut.
Tetapi, dirinya tak mau meratapi nasib terlalu lama. Alhasil, di saat pandemi masih melanda, Rido menjajal bisnis mie ayam. Kebetulan ia pernah punya pengalaman menikmati mie ketika liburan ke Hong Kong.
Hingga akhirnya, ia mencoba membuat mie ala Hong Kong yang dimodifikasi seperti mie ayam lokal. Ia menamai bisnisnya 'Mie Ayam Aroma'.
"Banyak yang mengira mie ini punya (orang) Cina karena rasa kaldunya berasa banget. Mie ayam ini banyak yang suka orisinal tanpa dicampur saus dan kecap," ujar Rido yang meraih sarjana hukum dari Universitas Lampung.
Sejak 2019, dia memiliki tiga gerai mie ayam Aroma yang antara lain berlokasi di belakang kampus UIN Raden Intan, Sukarame dan di PKOR (Pusat Kegiatan Olah Raga) Way Halim, Bandar Lampung. Dia sengaja tak ekspansif bukan karena kapok tapi karena ingin lebih fokus.
Apalagi karirnya di BRI terus menanjak dan harus berpindah-pindah kota. Kini Rido sudah sekelas manajer dengan jabatan Pemimpin Cabang Pembantu BRI di wilayah kerja Pekanbaru, Riau.
Pengelolaan sehari-hari usahanya itu pun diserahkan kepada adiknya. Dia mengklaim omzet penjualan mie ayam Aroma rata-rata per gerai Rp 60 juta perbulan, atau rata-rata omset harian Rp 2 jt per gerai.
"Itu belum termasuk jika ada event yang sifatnya pesanan atau panggilan ke acara," ujar Rido.