Seperti yang kita ketahui, Belanda pernah datang ke Indonesia untuk menjajah. Dalam rentang "350 tahun", ada banyak sekali penderitaan yang dirasakan masyarakat kala itu.
Tapi nggak cuma penderitaan aja yang ditinggalkan. Sejumlah istilah atau penyebutan yang sangat menghakimi juga diwarisi oleh Belanda. Salah satunya adalah sebutan 'hidung belang'.
Pernah dengar istilah 'hidung belang' gak gengs? Sebutan ini ternyata udah lama ada di Indonesia dan punya sejarah yang tragis. Apalagi terkait kisah cinta sepasang kekasih dari Batavia di masa silam.
Sebutan 'hidung belang' kini dilekatkan khususnya kepada laki-laki cabul yang suka mempermainkan perempuan. Padahal awal mulanya ya nggak begitu sih.
Jadi pada abad ke-17 dulu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Saat itu, Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Batavia sendiri telah menjadi wilayah yang banyak dihuni orang Eropa. Sebagian besar adalah laki-laki berkulit putih. Sementara waktu itu hanya ada sedikit perempuan berkulit putih.
Cuma laki-laki yang berpangkat tinggi aja yang boleh bawa istri ke Batavia atau Hindia Belanda. Sementara serdadu Belanda berpangkat rendahan tetap menjadi seorang jomblo. Dan itu adalah masalah!
Para serdadu yang jomblo hanya bisa memenuhi hasrat mereka dengan melakukan praktik pergundikan. Atau juga melakukan perkawinan campur, meski hal ini sangat tabu waktu itu.
Tapi nasib Pieter Cortenhoeff saat itu lebih beruntung. Dia adalah seorang vaandrig (serdadu bawahan) berdarah campuran. Ibunya seorang pribumi dan ayahnya adalah pedagang Belanda. Berdarah campuran, Pieter pun dianugerahi wajah tampan.
Pieter dilahirkan di Arakan, Myanmar. Di usia 17 tahun, dia hanyalah seorang serdadu bawahan yang biasanya menjaga Kastel Batavia.
Wajah tampan Pieter pun menarik perhatian banyak perempuan di istana. Termasuk Sara Specx, seorang gadis cantik dan putri dari kolega Coen.
"Sementara aku kembali ke Patria (Belanda) memenuhi permintaan Heren XVII, aku titipkan Sara, putriku, padamu. Aku percaya kau dapat mengasuhnya."
Kisah tentang Sara Specx ini dituliskan secara lengkap oleh jurnalis senior Alwi Shahab dalam bukunya "Robin Hood Betawi". Terungkaplah bahwa Sara yang biasa dipanggi Saartje ini adalah putri pejabat VOC Jacques Specx dengan gundiknya dari Jepang.
Sara yang suka kepada Pieter akhirnya bisa dekat. Mereka berdua menjalin hubungan cinta secara 'backstreet' atau diam-diam di belakang pengawasan Coen.
Awalnya, hubungan sepasang keksih ini lancar-lancar aja. Tapi akhirnya hubungan cinta mereka diketahui oleh orang kepercayaan Coen saat sedang bermesraan di salah satu ruang di Kastel Batavia.
Achmad Sunjayadi, penulis buku "(Bukan) Tabu di Nusantara)" menjelaskan kejadian itu secara rinci. "Suatu malam, pasangan muda yang sedang dimabuk asmara itu tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka. Gadis malang yang mungkin baru saja mendapat menstruasinya itu in flagrante delicto (tertangkap basah) sedang bermesraan dengan kekasihnya di rumah Coen."
Setelah ketahuan, hal itu menjadi kasus pelanggaran seksual yang heboh kala itu.
JP Coen kemudian mendengar cerita itu dan langsung murka. Sebab Coen memiliki rekam jejak sebagai sosok teladan masyarakat Eropa di Batavia. Akibatnya, nama Coen ikut tercoreng juga. Padahal Coen dikenal luas sebagai orang yang memerangi sifat-sifat buruk kompeni bejat di Hindia Belanda.
Telanjur murka, Coen pun menjatuhkan hukuman berat kepada sepasang kekasih yang dimabuk cinta itu.
Sara dan Pieter dieksekusi di halaman Stadhuisplein atau Balai Kota yang sekarang jadi lapangan Kota Tua Jakarta. Sara Specx dihukum dengan cara diseret ke arah pintu gerbang Stadhuisplein untuk menyaksikan kekasihnya saat dihukum.
Sebelum diseret, pakaian Sara dilucuti. Sara pun hanya bisa menjerit meski tak ada yang mempedulikannya. Sara Specx kemudian dicambuki berkali-kali oleh para algojo.
Pieter Cortehoeff sendiri mendapat hukuman pancung atas perbuatannya. Tapi sebelum dipancung, hidung Pieter sempat dicoret dengan arang oleh algojo sebagai tanda bahwa dia adalah pelaku pencabulan.
Pemancungan kepala Pieter pun jadi tontonan ratusan orang waktu itu. Setelah kepala Pieter menggelinding, orang-orang bisa menyaksikan sendiri wajah Pieter dengan coretan arang di hidungnya. Mereka pun menyebutnya 'hidung belang'.
Sejumlah pakar sejarah menduga kuat bahwa peristiwa itulah yang jadi asal muasal sebutan hidung belang. Sebutan hidung belang kemudian menjadi sterotip masyarakat Indonesia untuk melabeli laki-laki cabul dari dulu sampe sekarang.
Sementara kisah Sara Specx masih berlanjut. Ahmad Sunjayadi kembali menulis bahwa Sara kemudian menikah dengan seorang pendeta Georgius Candidius pada Mei 1632 di Batavia. Pendeta itu adalah penyebar agama Kristin di Formosa yang kini bernama Taiwan.
Pendeta itu juga menyebarkan agama Kristen di Maluku dan menjadi kepala sekolah Latin di Batavia. Sara kemudian ikut suaminya ke Formosa dan dikabarkan meninggal dunia pada usia 19 tahun.