Kalau ngomongin soal seks dan seksualitas, mungkin kamu bisa lebih mengenal Kamasutra dari India daripada Serat Centhini, Karya sastra Jawa lawas yang dirilis di awal abad ke-19.
Kabarnya "manual" versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan menantang lho dibanding dengan Kamasutra.
Yuk kita intip kutipan seksualitas Serat Centhini yang ditulis oleh Al. Heru Kustra yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2005 silam.
Gak bisa dipungkiri, kalau urusan seks selalu saja bikin menarik. Entah obrolan dari anak muda sampai ke ranah orang tua.
Bahkan di ranah bapak-bapak dan ibu-ibu, seks adalah sebuah obrolan yang menarik untuk dibahas, walau ada di acara arisan sekalipun.
Kadang dibicarakan secara terbuka dengan batasan yang ada, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainya. Seks dan seksualitas sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia.
Seks sendiri adalah salah satu bagian dari naluri atau insting manusia yang paling dasar. Gak heran kalau banyak upaya untuk mempelajarinya.
Gak sedikit lho yang menganalisis dan menyusun manual (panduan) atau mengungkapkanya lewat karya sastra maupun karya tulis sejak dahulu kala. Lah ... Urusan berkembang biak sih soalnya.
Beberapa manual kuno yang pernah ada bisa kita sebut misalnya, Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM - 17 M).
Atau karya Kama Sutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke-1 - 6 M).
Dalam kedua buku tersebut, bukan melihat seks sebagai subjek penelitian medis dan ilmiah tapi sebagai sex manual gengs.
Di akhir abad ke-19 dan awal ke-20, neurolog dan pakar psikoanalisis asal Austria, Sigmund Freud (1856-1939), mengembangkan sebuah teori tentang seksualitas yang didasarkan pada studinya terhadap para kliennya.
Tapi di tanah Jawa sendiri pada awal abad ke-19 juga memunculkan sebuah karya sastra yang terkenal sampai saat ini, yaitu serat Centhini atau lebih dikenal dengan nama resminya, Suluk Tembangraras.
Serat Centhini sendiri terdiri atas 722 tembang lagu Jawa yang beberapa diantaranya bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat tersebut termahsyur bahkan sampai seantero dunia.
Bahkan, seorang wartawati surat kabar di Prancis, Elisabeth D. Inandiak, misalnya, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les Chants de I'ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).
Buka-Bukaan
Meskipun saat itu kebudayaan Jawa di masa kejayaan Keraton masih bersifat represif-feodalistik kata Otto Sukatno CR dalam bukunya Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.
Ternyata masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari gengs. Dalam serat Centhini pun masalah seksual ternyata jadi tema sentral yang terbuka secara verbal, blak-blakan gitu.
Masalah seksual dalam serat Centhini diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus lho gengs.
Bahkan uniknya, seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan kenikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme.
Kata Sukatno, dalam Centhini II (Pupuh Asmarandana) pun diuraikan dengan gamblang soal "ulah asmara" yang berhubungan dengan genital yang sensitif dalam kaitannya dengan seks.
Contohnya, semisal cara membuka atau mempercepat orgasme bagi wanita dan mencegah atau mempercepat agar lelaki tidak mudah ejakulasi.
Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga dalam serat itu ternyata perempuan juga tak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagai stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima.
Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkap pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nerima kepada lelaki.
Masyarakat Jawa sebenarnya gak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik kok, tetapi lebih kepada penikmatan hidup saja.
Tapi juga masih berlawanan dengan kenyataan, "Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu," ungkap Sukatno.
Nah, gimana nih? Apakah kalian jadi tertarik untuk mengulik serat Centhini gengs? Bisa jadi jauh lebih asyik dari Kamasutra lho.