"Warung ini sudah ada sebelum hotel ini ada. Namanya juga dari dulu Warung Bu Lasiyem [istrinya]," ucapnya.
Letak rumahnya sendiri nggak langsung bersampingan dengan jalan raya. Ada jarak beberapa meter sebelum menyentuh jalan Palagan sehingga membuat rumahnya memiliki halaman luas.
Selain punya banyak tanaman untuk penyejuk, sisi kanan dan kiri belakang rumahnya juga dibatasi langsung dengan pagar hotel berbintang lima tersebut.
"Ini tanah waris kok, tanah turun temurun. Kalau kondisi dulu bentuknya sawah tadah hujan maksudnya kalau musim hujan bisa ditanam padi sekali sesudah itu saat kemarau palawijo," kenangnya.
Setelah tahun silih berganti, pada tahun 1992, Tukidi dikunjungi oleh sebuah perusahaan yang ingin mengajukan pembangunan hotel di daerahnya itu. Seluruh tetangganya pun mulai menyerahkan bangunan maupun tanah untuk dijual. Dan akhirnya, hanya tersisa rumahnya saja yang tidak dijual ke pihak hotel. Saat itu, pihak hotel membutuhkan tanah seluas 25 hektar.
"Kalau sekarang saya tidak tahu dapatnya berapa hektare," ungkapnya.
Tukidi mengaku kalo dirinya tidak menyesal atas keputusannya itu. Sebab, kalo dihitung secara matematis, harga yang dulu ditawarkan padanya juga nggak sepadan dengan yang diberikan.
"Nggak [menyesal]. Dulu itu cuma ditawar Rp 25 ribu per meter persegi. Ya saya bisa dapat apa? Kalau saat ini kan harga tanah makin mahal. Dulu kalau dilepas malah uangnya sekarang udah habis, paling cuma laku Rp20 juta kala itu," tuturnya.
Bahkan, ia juga menceritakan kalo di tahun yang sama, mobil Kijang saja dihargai 20 juta Rupiah. Artinya, kalo rumahnya ia jual seharga 18 juta Rupiah, itu artinya cuma menyisakan 2 juta saja buat bertahan hidup.
"Belum lagi kalau kebetulan rusak terus harus memperbaiki. Ditambah lagi ada pajaknya. Mungkin sekarang [rumahnya] harganya sudah kisaran puluhan juta. Ini pajak saja per tahun Rp2,5 juta per tahun," tambahnya.