“Pertimbangan waktu itu, 99 % makanan di Indonesia waktu itu statusnya halal, sehingga lebih praktis menggunakan logo penanda “babi” bagi 1 % pangan yang tidak halal,” jelas Sunarto.
10 tahun kemudian, tahun 1985, Menteri Agama dan Menteri Kesehatan era itu mengeluarkan label bertuliskan ‘halal’ pada label makanan. Skema yang dijalankan merupakan label halal buatan produsen setelah melaporkan komposisi bahan serta proses pengolahannya kepada Kementerian Kesehatan.
Pengawasan setiap laporan produsen tersebut dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan.
Kemudian, sejarah logo halal pun berlanjut hingga tahun 1998. Menurut laporan dari CNN, saat itu ada seorang dosen teknologi dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Dr. Ir. H. Tri Susanto, M App Sc., yang mengeluarkan rilisan penelitian di beberapa media.
Dalam penelitiannya, dikatakan bahwa ada sejumlah jenis makanan seperti susu, biskuit, coklat, es krim dan sebagainya yang mengandung lemak babi. Berita itu pun kian menimbulkan gejolak di masyarakat.
Pemerintah kemudian meminta MUI berperan aktif menyelesaikan persoalan ini. Hasilnya, MUI kemudian mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat obatan dan Kosmetika (LPPOM) di tahun 1989 yang fungsinya sebagai pemeriksa dan otoritas pemberi sertifikasi halal.
Pemerintah kemudian meminta kepada MUI untuk menyelesaikannya. Hasilnya, MUI mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat obatan dan Kosmetika (LPPOM) di tahun 1989 yang fungsinya sebagai pemeriksa dan otoritas pemberi sertifikasi halal.
Di tahun 1996, posisi sertifikat halal MUI semakin kuat dengan adanya tanda tangan dari Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI.
Setelah masa reformasi, nota kesepakatan itu pun ditingkatkan otoritasnya melalui penerbitan keputusan Menteri Agama 518 dan 519 tahun 2001. Hal itu lah yang membuat MUI sebagai satu-satunya otoritas yang berperan dalam pemeriksaan, audit, penetapan fakta, hingga penerbitan sertifikasi halal.
Kewenangan itu masih terus berlanjut hingga tahun 2019, saat UU terkait Jaminan Produk Halal diterapkan wewenang pemberian sertifikasi produk halal diambil alih oleh BPJPH Kementerian Agama.