Heboh Buaya Diyakini Kembaran Manusia, Mitos Bugis-Makassar Jadi Asal-usulnya

Heboh Buaya Diyakini Kembaran Manusia, Mitos Bugis-Makassar Jadi Asal-usulnya
(Tribunnews)

Viral di media sosial kemunculan buaya di Sungai Tallo, Kota Makassar yang diduga jadi-jadian oleh warga. Buaya itu kemudian diamankan ke rumah salah satu warga untuk dibungkus kain kafan, hingga diberikan upacara adat dengan menabuh gendang.

Muliadi, salah seorang warga yang menyimpan buaya itu di ruang tamu rumahnya di Jalan Pacinan, Kelurahan Tello Baru, Panakkukang, Kota Makassar, meyakini buaya yang ditemukannya pada Rabu (11/11) kemarin itu sebagai keturunan manusia.

Menghormati buaya dan memperlakukannya layaknya manusia bukanlah hal baru bagi masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya masyarakat Bugis-Makassar. Jauh sebelum ajaran Islam masuk ke Sulsel, sebagian besar masyarakat Bugis Makassar yakin dan percaya dengan mitologi: setiap manusia yang lahir memiliki kembaran seekor buaya.

Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Nurhayati Rahman, kepercayaan manusia memiliki kembaran buaya bagi masyarakat Bugis-Makassar juga tertuang dalam kitab sastra Bugis kuno, Lagaligo.Masih menurut kitab Lagaligo, Nurhayati mengungkapkan, manusia yang lahir dari pertemuan dewi Botting Langi (dunia langit) dan dewa dari Buri Liung (dunia laut) kemudian menghuni dunia tengah atau disebut Ale Lino. Manusia yang hidup di dunia tengah bertugas menjaga keseimbangan alam. Masyarakat Bugis-Makassar di masa silam juga percaya apa yang berasal dari langit dan bawah laut merupakan bagian dari dirinya, termaksud buaya yang diyakini sebagai kembaran.

"Jadi mereka percaya setiap manusia itu lahir di dunia ini ada kembarannya. Ada yang kembaran air, ada yang kembaran ular, tapi pada umumnya mereka menganggap kembarannya adalah buaya," ungkapnya.

Penulis buku 'Suara-suara dalam Lokalitas' itu menegaskan, kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar bahwa setiap manusia memiliki kembaran buaya merupakan kepercayaan sebelum datangnya Islam di Sulsel, atau kepercayaan pra-Islam.

"Jadi itu tadi kepercayaan pra-Islam. Jadi mereka selalu mengaitkan dirinya dengan sang pemilik air, dan ketika itu kan manusia menyatu dengan alam. Setiap kali mereka lahir dia selalu mengaitkan dirinya dengan pemilik air," jelasnya.

Seekor buaya yang diyakini sebagai kembaran juga tidak disebut sebagai buaya, melainkan pemilik air atau Patanna Jene dalam bahasa Makassar.

"Dia (orang Bugis-Makassar) tidak mau sebut itu buaya, tapi Patanna Jene (di Makassar), kalau Bugis Punnae Wae (pemilik air). Dan dia percaya bahwa kalau jari-jarinya terdiri dari 5 itu bukan buaya, tapi manusia, iya (maksudnya buaya keturunan manusia)," paparnya.

Facebook Conversations


"Berita ini adalah kiriman dari pengguna, isi dari berita ini merupakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengguna"