"Masalah utama dari rukyat hilal adalah cahaya hilal yang tipis sekali atau umurnya masih muda. Ini sering terganggu oleh cahaya senja sehingga hilal sulit diamati. Dengan teleskop memang cahaya hilal diperjelas, tetapi cahaya senjanya juga diperjelas," ucap Prof. Djamal.
Kini, perukyat bisa menggunakan kamera digital agar citranya bisa diolah dengan perangkat lunak khusus untuk astronomi, sehingga kontrasnya bisa ditingggalkan.
"Kamera digital bisa merekam dan menangkap banyak gambar, lalu menggunakan software processing image, beberapa gambar ditumpuk untuk dibandingkan dan menampakkan hilalnya," kata Prof. Djamal.
Teknik menumpuk citra digital adalah salah satu cara menampakkan citra lebih jelas. Tetapi, jika penampakan hilalnya sangat tipis, hilal tetap sulit terlihat.
Itulah mengapa, perlu adanya kriteria yang disepakati tentang ketampakan hilal, terutama parameter tinggi Bulan minimal 2 derajat, atau beda tinggi Bulan-Matahari minimal 4 derajat (= tinggi Bulan 3 derajat) dan elongasi Bulan minimal 6,4 derajat di kawasan barat Asia Tenggara.
"Jadi teknik dengan teleskop, kamera digital, ditambah image processing, teknologi itu yang digunakan (membantu pengamatan hilal) saat ini," imbuh Prof Djamal.
Meskipun sudah menggunakan teknologi canggih, para perukyat hilal tetap menggunakan peralatan lama seperti binokular dan teleskop manual untuk jadi bahan pertimbangan tambahan seperti gawang lokasi.