Tragedi Bintaro adalah sebuah kecelakaan maut antara dua buah kereta api di daerah Pondon Betung. Kecelakaan tragis ini terjadi pada tahun 19 Oktober 2987. Hingga saat ini tragedi Bintaro ini menjadi musibah kecelakaan kereta api terbesar sepanjang sejarah di Indonesia. Beritanya tersebar hingga dunia.
Tragedi Bintaro ini terjadi saat ada kecelakaan antara kereta api Patas Ekonomi Merak jurusan Tanah Abang - Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran bertabrakan dengan kereta api Lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung - Jakarta Kota yang berangkat dari Stasiun Sudimara.
Kecelakaan tragis ini terjadi karena ada kelalaian petugas kereta api. Petugas Stasiun Sudimara memberika sinyal aman yang salah pada kereta api dari Rangkasbitung. Padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Tidak ada jalur kosong yang bias dilewati kereta api. Kesalahan juga dilakukan oleh Kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 ke Sudimara tanpa mengecek jalur terlebih dahulu.
Dirangkum dari Wikipedia.org berikut ini rentetan kisah tragedy Bintaro.
KA 225 yang akan diberangkatkan dari Stasiun Sudimara akan bersilang dengan KA 220 Patas di Stasiun Kebayoran. Itu berarti KA 220 Patas di stasiun Kebayoran tetap memberangkatkan KA 220. PPKA Stasiun Sudimara pun lantas melangsir KA 225 masuk jalur 3.
Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan dan tetap berangkat. Sudah ada upaya penghentian kereta dengan mengejar kereta, memberikan sinyal, memberikan tanda dengan bendera merah, dan membunyikan semboyan genta. Namun semuanya sia-sia. Kereta tetap melaju.
KA 220 yang berjalan dengan kecepatan 25 km/jam bertabrakan dengan KA 225 berjalan dengan kecepatan 45 km/jam. Dua kereta api itu bertabrakan di tikungan S ±km 18,75. Keduanya hancur, terguling, dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB303 16 dan BB306 16 rusak berat. Jumlah korban jiwa mencapai 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Kejadian ini disebut tragedy karena banyak korban meninggal dan mengalami luka parah. Gerbong kereta yang ringsek dan banyaknya penumpang membuat manusia di dalam kereta tidak bias menyelamatkan diri. Darah berceceran dan bahkan ada yang susah dikenali lagi karena luka yang sangat parah. Korban yang selamat juga mengalami luka hingga harus kehilangan anggota tubuh.
Setelah kejadian nahas tersebut hukuman penjara diberikan kepada petugas KA 225. Masinis yang bernama Slamet Suradio dihukum 5 tahun, Adung Syafei sebagai kondektur dihukum 2 tahun 6 bulan sedangkan Umrihadi (Pemimpin PPKA Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara 10 bulan.
Masinis kereta api 225 masih hidup hingga saat ini, tapi kehidupannya tidak berjalan dengan baik sejak saat ini. Setelah menjalani masa hukuman 3 tahun 3 bulan ia tidak mendapat uang pensiun dan ditinggalkan oleh istrinya. Ia mengaku tidak bersalah atas kejadian tersebut.