Tidak selamanya suku di Indonesia memiliki peradaban yang besar seperti layaknya suku Jawa, Batak, Bali, Timor, hingga Papua. Bahkan jika menyebut Pulau Sumatra hanya berisi suku Melayu, Batak, atau Minangkabau maka kalian perlu belajar ulang, atau setidaknya cukup baca artikel ini saja.
Bahwa di pedalaman belantara Sumatra sana terdapat satu suku yang mungkin tak pernah diajarkan di sekolah. Jumlahnya juga tidak banyak. Mungkin saat ini hanya ada 200 ribuan jiwa dan sebagian besar terkonsentrasi di provinsi Jambi. Suku ini dinamai dengan Suku Anak Dalam. Baru dengar kan gengs? Yuk kita lihat seperti apa Suku Anak Dalam ini.
1. Asal Mula Suku Anak Dalam
Hingga saat ini asal-usul Suku Anak Dalam belum menemui titik terang. Para peneliti masih berdebat terkait bagaimana kemunculan suku ini. Namun terdapat sebuah tulisan yang pernah dimuat di BMT, Depsos tahun 1988, yang menuliskan bahwa Suku Anak Dalam berasal dari Kerajaan Jambi. Mereka sebenarnya seorang prajurit yang dikirim berperang melawan Kerajaan Tanjung Jabung.
Raja Pagar Ruyung mengirim pasukan yang telah menyanggupi akan menghabisi kerajaan yang menantang. Mereka bahkan berjanji tidak akan kembali sebelum selesai. Namun sayang, sebelum tiba di lokasi musuh mereka justru kehabisan makanan.
Mereka terjebak di dalam hutan belantara yang sangat lebar. Tak bisa pulang karena masih memegang janji, dan juga tak bisa maju karena kondisi pasukan yang sangat buruk.
Akhirnya mereka memutuskan menetap di hutan untuk menyepi di hutan. Lambat laun mereka membuat kebudayaan sendiri hingga menjadi Suku Anak Dalam yang kita kenal sekarang.
2. Hutan Adalah Milik Suku
Meskipun satu identitas, Suku Anak Dalam sebenarnya terbagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama adalah mereka yang lahir dan tinggal di hutan. Kedua adalah yang lahir di hutan lalu berbaur dengan desa terdekat. Terakhir adalah mereka yang lahir dan besar di desa penduduk.
Masing-masing memiliki cara pandang hidup yang sedikit banyak berbeda. Terutama bagi mereka yang tinggal di hutan. Mereka tidak mengenal bangunan permanen sebagai hunian.
Kelompok ini menganggap belantara hijau penuh pohon itu sebagai rumah. Seluruh hutan yang luas adalah kepunyaan suku yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan adat.
Hubungan antara Suku Anak Dalam dengan hutan mungkin terjadi sejak mereka mulai menetap di sana. Gagasan hutan sebagai rumah diturunkan dari generasi ke generasi. Hutan, bagi Suku Anak Dalam adalah tempat bermain, bekerja, membina rumah tangga hingga tempat meninggal dunia.
Masalah mulai muncul ketika beberapa area hutan dialihfungsikan sebagai perkebunan sawit. Kehidupan Suku Anak Dalam mulai terusik dan tersisih.
Pengalih fungsian ini tentu mencaplok lahan yang luas dan biasanya dilalui dengan proses illegal logging dan pembakaran hutan. Sejak itu Suku Anak Dalam mulai melawan perusahaan sawit meskipun nampak tak berdaya.
3. Selalu Hidup Berpindah-pindah
Karena Suku Anak Dalam menganggap keseluruhan hutan sebagai bagian dari hidup mereka, suku ini tidak pernah menetap pada satu bagian tempat di hutan. Mereka selalu berpindah-pindah sesuai dengan keadaan. Kebiasaan suka berpindah ini disebut dengan melangun.
Mereka akan melakukan perpindahan jika terjadi pergantian musim. Artinya di daerah sekitar tempat tinggal tak ada lagi tanaman buah, dan bahan makanan. Mereka juga berpindah jika di daerah mereka sudah semakin susah mendapatkan hewan buruan.