Mereka kemudian mengategorikan siswa berdasarkan status sosial ekonomi, mempertimbangkan pendapatan rumah tangga, pendidikan orang tua, dan prestise pekerjaan orang tua.
Dari cara itu, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa siswa TK kurang mampu yang memiliki nilai bagus, justru kecil kemungkinannya untuk bisa lulus SMA, perguruan tinggi, dan mendapat upah lebih besar dari teman-temannya yang mendapat nilai di bawah rata-rata.
Siswa pintar dari 25 % peringkat teratas, tapi keluarganya miskin, cuma 31% peluangnya ke perguruan tinggi dan dapat gaji 35 ribu dolar (Rp516 juta) di usia 25 tahun dan 45 ribu dolar (Rp663 juta) saat 35 tahun per tahun (UMR: 15 ribu usd atau Rp221 juta).
# Siswa dari Keluarga Kaya Memiliki Peluang Sukses Lebih Besar
Anak dari keluarga kaya, di sisi lain meski menempati 25% peringkat terbawah, memiliki 91% peluang untuk mempertahankan status ekonominya.
Banyak orang kemudian menyalahkan sekolah karena perannya yang masih kurang dalam membantu para siswa yang miskin.
Anthony pun kemudian menyebutkan bahwa ada variabel lain yang berkontribusi pada fenomena ini. Misalnya ras, kelas, jenis kelamin, dan buku apa saja yang ada di rumah.
Salah satu kelebihan orang kaya adalah bisa mengembangkan bakat anak dengan leluasa. Mereka menghabiskan banyak uang agar anaknya bisa ikut berbagai les.
Selain itu, sumber daya dan dukungan keluarga bisa membantu siswa kaya yang sekolahnya tak terlalu pintar untuk mengatasai tantangan dan mencapai kesuksesan.
Dari fenomena ini, Anthony kemudian menyarankan pemerintah untuk membuat kebijakan publik seperti: TK universal, pendanaan sekolah yang adil, upah hidup stabil untuk orang tua, dan pembinaan keamanan sekolah dan lingkungan.