Baru-baru ini, seorang guru asal Kenya dinobatkan menjadi "Teacher of the Year 2019". Dia adalah Peter Tabichi, seorang pria asal Kenya berusia 36 tahun. Dia menjadi guru terbaik di dunia dan berhasil menyingkirkan 10.000-an kandidat lainnya dari 179 negara.
Tabichi adalah seorang guru Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ia berhasil menyabet trofi "Teacher of the Year" tahun ini dalam ajang Global Teacher Prize yang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab pada Minggu (24/3/2019) kemarin. Tabichi pun berhak pula atas uang senilai Rp14 miliar.
Sepanjang menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah di Kenya, Tabichi selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk menyongsong masa depan. Di balik itu, murid-muridnya sendiri mayoritas datang dari keluarga miskin.
BBC melaporkan, selama ini Tabichi dipuji karena keberhasilannya mendorong anak-anak di wilayahnya untuk tidak berhenti sekolah.
Agar tetap sekolah, Tabichi pun mendorong murid-muridnya agar mampu mengikuti proses belajar.
Pria yang mengidentifikasi dirinya sebagai pengikut ordo Fransiskan ini telah mendonasikan 80 persen penghasilannya untuk kebutuhan pendidikan mereka. Berkat bantuan dari Tabichi, murid-muridnya jadi bisa membeli seragam sekolah dan buku-buku yang dibutuhkan.
Tabichi sendiri mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Keriko, Desa Pwani, Naruku, barat laut ibu kota Nairobi, Kenya. Daerahnya sendiri merupakan daerah miskin. Sekitar 95 persen muridnya pun memang berasal dari keluarga miskin. Bahkan sepertiganya merupakan yatim piatu atau hanya memiliki satu orang tua.
Tabichi bekerja keras untuk mengubah nasib komunitasnya melalui pendidikan. Tujuannya bukan semata karena alasan ekonomi, Tabichi sendiri mendapati fakta bahwa anak-anak muda di wilayahnya rentan terhadap penyalahgunaan obat-obatan terlarang, kehamilan dini, serta bunuh diri.
Sehari-hari, murid-muridnya harus berjalan hingga tujuh kilometer untuk sampai sekolahnya. Parahnya, jalan menuju sekolah mereka tak mungkin bisa dilalui selama musim hujan.
Tabichi pun tak pernah berhenti memotivasi para muridnya untuk tetap belajar meski untuk belajar, mereka dihadapkan dengan berbagai keterbatasan dan kesulitan. Tabichi sendiri beranggapan, untuk menjadi guru yang baik, seseorang harus banyak bekerja dan sedikit bicara.
Di sekolahnya memang hanya ada satu komputer. Jaringan internet buruk dan kurang tenaga pengajar. Tapi Tabichi bersikeras mendirikan "klub pembinaan talenta" yang berfokus pada pelajaran IPA.
Berkat klub IPA-nya tadi, murid-murid sekolahnya mampu mendesain sebuah proyek berkualitas tinggi yang lolos kualifikasi kompetisi nasional.
Beberapa dari muridnya pun sempat mengikuti kompetisi ilmu pengetahuan alam internasional dan menerima penghargaan dari Royal Society of Chemistry, kelompok ilmuwan berbasis ilmu kimia di Inggris. Dengan cara itu, Tabichi setidaknya telah membantu murid-muridnya yang tidak mampu untuk memiliki rasa percaya diri.
Selain itu, Tabichi juga membuat program perdamaian dengan mempertemukan anak-anak dari tujuh kelompok etnis untuk saling kenal dan bersahabat.
Bersama empat guru lainnya, Tabichi juga menyisihkan waktu untuk memberikan pelajaran tambahan di rumah mereka masing-masing. Tabichi pun berharap bisa meningkatkan jumlah orang yang lulus universitas dan mengubah nasib mereka sendiri beserta lingkungannya.