Namun, agaknya nggak semua tukang becak legawa seperti Ayub. Banyak rekan sesawat Ayub yang hingga kini belum bisa berdamai dengan persaingan antara becak dengan ojek daring. Sebagian dari mereka masih menganggap para driver ojek daring telah merenggut rezeki mereka.
Kecemburuan ini tentu saja beralasan. Tukang becak yang masih berusia muda mungkin bisa saja banting setir, entah jadi buruh atau mendaftar sebagai driver ojek daring itu sendiri. Namun, bagi mereka yang sudah berusia di atas 40 tahun seperti Ayub, tak banyak lagi pilihan mereka mengais rupiah.
Rahmat, misalnya. Lelaki yang sudah menjadi tukang becak sejak 1990-an ini mengaku tak tahu lagi harus melakukan apa andai harus menyerah atau pensiun dari menarik becak. Terlebih, dia sudah terlanjur menghabiskan tabungannya untuk membeli dan memberi motor pada becaknya.
"Sudah tua, bisa ngapain lagi? Mau jual becak juga siapa yang mau beli, keadaan sepi begini?" ungkapnya.
Rahmat mengakui, dia merasa tersaingi. Namun, dia nggak mau membabi buta membenci para driver ojek daring tersebut. Menurutnya, tukang becak dan driver ojek sama-sama mencari uang, berjuang untuk keluarga, dan tengah bergelut dengan nasib.
"Ya, kadang cemburu kalau lihat ada ojek online lewat bawa penumpang," keluh Rahmat.
"Cuma cemburu, nggak lebih," tutupnya.
Mendengar ungkapan pasrah yang menjadi ikhtiar terakhir para tukang becak ini tentu saja bikin hati miris, ya Gengs. Namun, inilah sisi kelam teknologi. Hari ini tukang becak, besok giliran siapa lagi yang akan mengerang? Jangan-jangan, kita!